Fazwan POV
Nana bilang hubungan gue sama Nisrina terlalu kaku. Dia mungkin nggak salah. Itu sebabnya hubungan kami stuck. Nggak ada yang spesial dari setiap pagi kecuali saling nongkrong di balkon sambil nyiram kaktus. Weekend selalu menjadi hari yang paling gue tunggu. Ada waktu buat ngobrol dengan Nisrina. Meskipun hanya sekitar 20-30 menit. Nggak banyak karena dia selalu kembali ke ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sekarang aja dia sudah siap dengan kacamata kerja yang selalu dipakai untuk membingkai mata almond-nya.
"Kamu makin cantik kalau lagi pakai kacamata," puji gue. Nisrina balas senyum. Makin manis.
"Kalau nggak pakai kacamata jelek gitu?" Dia balas mencebik. Menaikkan kakinya di atas kursi. Kemudian menyesap hot cocolatte yang gue buatkan tadi. Gue memang sengaja belajar cara bikin minuman kesukaan Nisrina biar kami punya waktu seperti ini.
"Nggak jelek. Siapa yang bilang jelek. Ngaco aja kamu."
Nisrina malah terkekeh. "Mas, aku udah beli tiket ke Jepang." Dada gue berdetak kencang saat itu. Benar-benar terkejut. Bukan soal apa, tapi yang terjadi, Nisrina nggak izin dulu sama gue. Bikin gue gedek sendiri.
"Kamu kok nggak bilang?"
"Ada tuh di tas tiketnya." Menunjuk kamar tidur kami.
"Aku tanya, kok kamu nggak bilang dulu?"
"Gapapa pakai uangku kok," jawab dia santai. Bukan jawaban yang gue inginkan. Itu sebabnya gue langsung berdiri. Menatap Nisrina tajam.
"Kok kamu nggak bilang!"
Dia balas menatap mata gue. Lebih tajam dan sinis. "Ya emangnya kenapa, Mas? Kalau nungguin kamu berangkatnya kapan?" jawaban diplomatis. Karena ya, gue nggak bakal segampang itu buat beli tiket liburan ke Jepang. Uang gue belum sampai ke sana.
"Aku masih nabung."
"Ya kapan? Udah baik aku tombokin dulu," jawabnya sinis. Seolah meremehkan gue. Gue beneran capek diremehin kayak gitu.
"Terserah kamu!" bentak gue. Melangkahkan kaki meninggalkan Nisrina. "Terserah kamu mau apa. Terserah!"
Nisrina hanya diam saja di tempatnya. Nggak mencoba mengejar gue. Atau apalah. Bujuk kek biar gue nggak semarah sekarang. Harapan gue hanya semu belaka. Bikin gue cuma menghempaskan tubuh terlentang ke ranjang. Mengabaikan sepenuhnya tentang Nisrina. Sampai gue nggak sadar kalau cincin pernikahan kita tergeletak begitu saja di nakas. Iya, kemarin gue memang minta Nisrina buat ganti cincin nikahnya, tapi bukan menelantarkan cincin pernikahan kami yang lama seperti ini. Ini terlalu membuktikan kalau dia emang nggak terlalu peduli.
Dan karena itu, gue memutuskan buat mengambil cincin itu dan menyimpannya. Gue bakal melepaskan cincin yang sama. Lebih baik disimpan saja, daripada di pakai ya kan? Toh apa gunanya. Ikatan ini hanya ikatan yang diciptakan buat saling menyakiti.
Agak siangan dikit. Gue rasakan seseorang menepuk pipi gue. Yang gue lakukan hanya mengerang. Males bangun. Gue lagi libur sekarang. Jangan ganggu tidur gue. "Mas!" Itu suara Nisrina. Tapi gue beneran lagi malas ngobrol sama dia. Please kali ini aja, biarin gue hidup tenang. Tanpa ada yang ganggu.
"Mau minta bantu boleh nggak?" tanya Nisrina. "Mas, bangun dong. Kamu daritadi tidur terus," omelnya. Gue berusaha nggak peduli. Meskipun sebenarnya gue pengen bangun buat bantu. "Ya udah deh." Gue rasakan ranjang sebelah kanan mulai kosong. Suara Nisrina bahkan nggak terdengar lagi.
Diam-diam gue membuka mata. Mencoba mengetahui aktivitas Nisrina. Dari tempat gue tidur dia terlihat sedang mengeluarkan barang dari kardus. Seperti paket online. Lumayan besar, bagi cewek. Pantes aja dia minta bantuan gue. Tapi ya gimana lagi, gue udah gak mood.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
Chick-Lit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...