Chapter 10. [A]

247 11 2
                                    

Nisrina POV

"Iya, Babe. Tunggu di sana. Habis ini aku jemput."

Setidaknya itulah yang aku dengar dari percakapan Mas Fazwan dengan seseorang di balik telepon. Aku hanya menoleh. Sekedar melirik apa yang dilakukan Mas Fazwan saat itu. Sejak pertengkaran kami waktu itu. Hubungan kami tidak membaik yang ada semakin memburuk. Jadwal kerjanya juga agak sedikit lebih berantakan. Kadang pulang malam, bahkan kadang tidak pulang sama sekali.

Dengan langkah pelan aku berjalan ke arah kamar. Berpapasan dengan Mas Fazwan yang pergi ke arah almari, untuk mengambil pakaiannya. Dia hanya diam saja. Sedikit saja tidak menanyakan keadaanku. Aku sebenarnya capek. Butuh diperhatikan juga. Sayangnya tidak mungkin aku dapatkan lagi. Aku sudah kehilangan dia. Kehilangan orang yang sangat mencintaiku.

"Mau kemana?" tanyaku.

Dia tidak menjawab. Mengabaikannya. Hanya menoleh lalu berlalu.

"Mas," panggilku. Diabaikan seperti ini rasanya sangat sesak. "Tau cincin nikah kita nggak?" Sudah dua hari ini aku mencoba mencari cincin pernikahan kami. Tidak ketemu.

"Buat apa cincin nikah? Kenapa? Kamu nggak mau rugi setelah kita cerai nanti?" tanyanya. "Tenang, harga cincinnya nggak seberapa kalau kamu jual nanti."

Aku akhirnya memilih diam. Kepalaku mendadak pusing. Memikirkan Mas Fazwan sama saja mau menghancurkan isi kepalaku. Dengan langkah berat aku menjatuhkan tubuh di ranjang. Memijit kepalaku yang terasa semakin berdenyut. Mengabaikan puluhan chat Ammar. Lalu sebisa mungkin memejamkan mata. Melupakan semua perlakuan Mas Fazwan yang semakin menyebalkan dari kemarin.

Benar kata orang, jangan coba bermain api kalau tidak mau terbakar.

Tengah malam aku terbangun. Ranjang di sebelahku masih kosong. Bantal dan juga selimut sudah tidak ada di tempatnya. Jam dinding juga sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. Dengan langkah gontai keluar dari kamar. Mataku otomatis mencari keberadaan Mas Fazwan yang ternyata tertidur di sofa, dengan televisi yang masih menyala. Melihatnya seperti itu hati kecilku rasanya sakit.

Melihat Mas Fazwan tidur dengan sangat tenang seperti itu membuatku diam-diam tersenyum. Suara dengkurannya yang awal menikah dengannya terasa menyebalkan. Sekarang menjadi hal yang aku rindukan.

Beberapa scene sebelum kami bertengkar terekam jelas di kepalaku. Malam itu ketika saling merindukan satu sama lain. Ciuman yang tadinya kami pikir hanya kecupan singkat berubah menjadi tempat saling menumpahkan rasa rindu. Bukan hanya membuat kami kehabisan napas, tapi mulai terbakar karena gairah yang kami ciptakan.

Aku reflek mendongak ketika merasakan bibir manis Mas Fazwan menjelajah di sekitar leherku. Memberikan isapan-isapan kecil yang menggelikan. Lidahnya kemudian terjulur memainkan daging tanpa tulang di ujung telinga, lalu menggigitinya, membuat desahan pelan lolos di bibirku.

Aku tak kalah aktif menarik kaos yang menutupi tubuh Mas Fazwan. Menjatuhkan diri di dada telanjangnya. Menutup jarak di antara kami. Lalu menciumnya pelan. Sementara tangannya semakin aktif bermain di perut dan juga dadaku. Mengusap dengan pijitan pelan yang jujur saja membuatku dibuat meremang olehnya. Dengan satu gerakan dia melepas kaitan bra yang aku pakai.

"Cantik," gumamnya dengan seringai mesum. Membuatku hanya terkekeh pelan. Satu tangannya sudah bergerak semakin nakal menyentuh titik tengah tubuhku. Aku tidak berusaha menahannya.

Dengan napas terengah, Mas Fazwan mengubah posisiku berada di bawahnya. Dengan cepat hingga membuatku tidak bisa mengelak lagi. Tubuhku belum sepenuhnya siap ketika Mas Fazwan mulai bergerak cepat di atasku.

"Oh my god." Aku meleguh, nyaris menangis ketika kenikmatan itu datang. Bersama dengan puncak klimaks Mas Fazwan. Dia mengentak beberapa kali, hingga membuat air mataku benar-benar lolos. Agak sedikit tidak percaya bahwa aku memberikan semua milikku untuk Mas Fazwan. Orang yang sebelumnya tidak ada di daftar hidupku.

Mas Fazwan berguling dari atasku, ketika selesai dengan klimaksnya. "Makasih ya, Sayang."

Aku mengangguk, balas memeluknya erat.

Mas Fazwan tidak merespon apapun lagi, hanya tersenyum lalu memejamkan mata. Agak lama aku rasakan napasnya mulai teratur. Sepertinya sudah terlelap.

Hampir sama seperti sekarang. Dia tertidur dengan napas teratur. Rasanya sedikit iri dengan Mas Fazwan yang bisa tidur nyenyak sekarang. Seolah hubungan kami sekarang tidak bermasalah sedikitpun.

Kata 'aku tidak ingin kehilangan Mas Fazwan' sepertinya selalu ada di pikiranku. Kebodohan karena sudah merespon Ammar benar terlihat sekarang.

Andai aku bisa menolak apapun pemberian Ammar semua pagar pembatas ini tidak mungkin terlihat semakin jelas. Mencoba bersikap normal saja di situasi sekarang ini sangat menyulitkan. Aku kembali ke kamar mengambil selimut untuk Mas Fazwan. Setidaknya meskipun tidur di sofa dengan posisi kaki tertekuk, dia tidak kedinginan. Kalau bisa, aku bahkan tidak keberatan untuk menggantikannya.

Mas Fazwan menggeliat ketika aku menyelimuti tubuhnya. "Hush.." kataku spontan sambil mengusuk pelan rambutnya.

Perlahan Mas Fazwan membuka mata. Membuat mata kami saling beradu. Keningnya sontak berkerut tanda tidak suka.

"Ngapain kamu?" tanyanya, dengan nada super jutek. Membuat hatiku lumayan sakit mendengarnya.

Aku menelan ludah tercekat. Mencoba menetralkan diri sekaligus menarik tanganku yang dengan lancangnya berada di kepala Mas Fazwan. Di saat yang sama aku mencium aroma alkohol dari mulutnya.

"Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sejak kamu memutuskan buat selingkuh."

Aku yang semula duduk ujung sofa, seketika berdiri. Rasanya sakit ditikam seperti itu. Aku tahu Mas Fazwan sakit hati, tapi nggak seperti ini. Selingkuh saja tidak pernah terpikirkan di kepalaku. Kalau bukan karena Ammar yang memaksa, aku juga enggan menerima pemberiannya.

"Oh ya Nis, lupa soal surat cerai. Belum gue urus sampai sekarang. Lagi sibuk banget."

"Mas nggak perlu mikirin itu kok. Gampang, aku bisa suruh pengacaraku."

Bodohnya aku menjawabnya begitu. Hingga terbit senyuman sinis dari Mas Fazwan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak berpikir untuk mengakhiri masalah ini dengan perceraian.

"Ya bagus deh, kamu kabarin aja kalau butuh apa-apa."

Berusaha tegar, aku mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di kelopak mataku. Aku buru-buru meninggalkan Mas Fazwan kembali ke dalam kamar. Menghempaskan diri di sana. Menangis sejadinya sambil menggigit bantal ajar tangisku tidak terdengar.

Tidak mungkin membiarkan suara tangisku terdengar Mas Fazwan.

Aku bukan orang bodoh yang harus mengemis cinta dari seseorang yang tidak pernah mencintaiku. Ada saatnya kalau memang waktunya menyerah, menyerah saja. Biarkan takdir yang berbicara. Hal yang mungkin akan aku lakukan adalah mengiyakan keinginan Mas Fazwan. Kalau dia ingin cerai, akan lebih baik kalau aku segera mengurusnya. Toh dari awal pernikahan ini tidak pernah berbicara tentang cinta. Untuk apa dipertahankan.

Dan tentu saja sebelum datang buah hati yang takutnya akan mempersulit jalan kita untuk berpisah. Sebelum itu terjadi akan lebih baik agar disegerakan.

Mas Fazwan juga tidak harus tertekan bersamaku lagi.

Aku juga mungkin sama. Tidak memaksakan apapun lagi.

Cinta...

Komitmen yang coba kita jalin, sepertinya memang tidak akan pernah berhasil. Selamanya,

Sekarang sisanya hanya tentang saling menjaga harga diri satu sama lain.

Dan tentu saja berhenti berintraksi sama sekali.

****

~ Selasa, 02 April 2024

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang