Fazwan POV
Beneran lega. Mungkin itu yang gue rasakan sekarang melihat kondisi keluarga yang mulai bersatu pelan-pelan. Sedikit nggak percaya, tetapi sejak Nisrina memutuskan kembali ke Indonesia. Gue yakin keluarga gue baik-baik aja. Dia mulai berkompromi untuk hidupnya sendiri demi keluarga dan juga mungkin anak kami, Gizem. Nggak mungkin karena gue. Karena gue nggak percaya banget Nisrina berubah pikiran karena gue. Dia tuh orang yang paling sulit banget berkompromi pada sesuatu.
Sejak memutuskan buat pindah. Kita sibuk cari rumah baru. Karena nggak selamanya kita tinggal di rumah Mama. Menjual dua unit apartemen kita sebagai tambahan bangun rumah. Nisrina itu orangnya lebih kalem sekarang. Dia udah jarang banget kepancing marah kalau diajak ngobrol. Perbedaan yang gue rasakan setelah dia tinggal di Aussie. Mungkin itu teknik melatih emosi yang dia terapkan ketika berinteraksi sama clien-clien di luar sana. Tapi gue beneran bersyukur banget sama perbedaannya. Dia bahkan bersikap santai ketika Gizem melakukan kenakalan-kenakalan anak kecil. Hanya menasehati tanpa terkesan marah yang membara-bara. Dan itu berhasil bikin Gizem kicep.
Pemandangan Gizem bermain di ruang keluarga menjadi yang pertama gue lihat. Dia kelihatan happy banget main sama Mama Papa. Senyumnya kelihatan lebar banget. Sementara Nisrina sendiri masih tidur. Mungkin capek.
"Eh anak cewek Ayah, lagi main ya sama Eyang Uti?" Gue ikut mendekat. Mengambil mainan masak-masakan Gizem.
"Ayah... Ayah... Oti... Masak mau?" oceh Gizem. Khas ocehan anak kecilnya. Gue cuman ngangguk agak nggak ngerti sama ucapannya.
"Nisrina masih tidur ya?" tanya Mama. "Nggak kamu bangunin? Takutnya dia ada kerjaan loh."
"Gapapa udah Mah. Dia itu sepanjang waktunya buat kerja terus. Sekali-kali lah dia nyantai-nyantai dikit."
Mama cuman ngangguk-ngangguk. Nurutin perkataan gue. Gue sebenernya nggak tahu Nisrina punya kerjaan atau enggak.
Lagian ini kan rumah Mamah. Nisrina sendiri nggak bakal marah-marah juga kan selama di rumah Mama.
"Eh makasih ya Sayang!" Gue menerima uluran tangan Gizem. Memberikan gue piring mainan kecil berisi daging dalam bentuk plastik. "Enak deh. Ayah suka ini makan steak buatan kamu."
Gizem kelihatan happy banget waktu gue puji. Dia tersenyum lebar lalu berlari melompat ke pelukan gue.
Adem banget rasanya. Gue nggak pernah di posisi kayak sekarang ini. Ngerasa punya keluarga yang jauh lebih utuh. Setelah itu gue ajak Gizem ke kamar. Membangunkan Mama-nya. Siapa tahu Nisrina beneran ada kerjaan yang mengharuskan dia bangun lebih awal. Sejak memilih menetap di Jakarta, Nisrina sering terima kerjaan freelance. Itung-itung katanya biar bisa nambah pundi-pundi rupiah. Dari Australia sih yang paling sering.
"Bangunin Mama dulu." Gue menurunkan Gizem dari gendongan.
Seperti yang gue pintahkan. Anak itu membangunkan Nisrina dengan kecupan-kecupan kecil di pipinya.
"Apa sih sayang," gerutu Nisrina, dengan berat dia membuka mata.
Sekali lagi kecupan Gizem membuat Nisrina menggeliat kegelian. Gue juga bisa kalau membangunkan dengan cara seperti itu.
"Iya... Iya Mama bangun," jawab Nisrina untuk menyingkirkan Gizem dari wajahnya.
Gue cuman senyum ke arah Nisrina. Membantunya untuk duduk menyeimbangkan badan. Gizem juga sama dia tertawa kecil melihat tingkah Ibunya.
"Beneran nggak ada kerjaan hari ini?" tanya gue. "Kalau emang nggak ada, lanjutin tidur aja nggak papa kalau kamu masih capek."
Nisrina meraih ponsel. Membuka notifikasi yang muncul di bagian atas ponselnya. "Aku ada janji sama orang yang nawarin rumah."
Gue berdeham. Kami memang mencari rumah untuk tempat tinggal, biar lebih mandiri dan nggak bergantung sama Mama Papa.
"Hari ini?"
Nisrina mengangguk. "Cuman mau lihat tempat doang sih. Kalau cocok ya ambil."
"Ya udah kamu mandi dulu deh. Nanti aku anter. Yuk Nak. Kita nunggu Mama di depan."
Tanpa gue minta, Gizem berlari keluar kamar. Sementara Nisrina memasang tampang cemberut ke arah gue. "Masih ngantuk ya?" tanya gue. Mengusuk pelan kepala Nisrina. "Ya udah aku mau nemenin Gizem dulu ya. Kamu mandi aja dulu."
Dia mengangguk.
Gue bergegas turun bergabung dengan Gizem yang melanjutkan main masak-masakan. Sambil nunggu Nisrina, gue cosplay jadi pembelinya. Mama juga ikut gabung. Katanya udah lama di rumah nggak ada anak kecil, eh akhirnya mau gue bawa lagi buat pindah rumah.
"Udah pada siap semua?" Gue menoleh mendengar suara Nisrina yang sudah berada di bawah. "Pakai baju gitu aja?"
Gue mengangguk. Nggak ada salahnya kan cuma pakai celana pendek sama kaos hitam polos. Emangnya kenapa? "Gini aja nggak papa," kata gue. Nisrina menyipit. Beralih mengalihkan pandangannya ke Gizem. "Baju Gizem masih bagus kok, Yang. Nggak bikin malu-malu amat."
"Yuk, Nak. Ganti baju dulu. Biar nggak kelihatan kayak gembel." Nisrina sudah mengambil Gizem yang asik sama mainannya. Bikin gue menggeleng pelan. Toh baju Gizem nggak jelek-jelek amat. Masih layak lah buat ukuran anak kecil. Si Nisrina kan jarang banget beli baju murah di pasar buat anaknya.
Gue mengeluarkan kontak, lalu menyiapkan mobil biar nggak makin ngomel-ngomel nanti.
"Kita cari rumah yang paling deket sama rumah Mama ya?" gumam gue begitu Nisrina masuk mobil. Gizem langsung noleh begitu gue ngomong. Memperhatikan gue. Sementara Nisrina cuman anggap angin lalu kayaknya. Dia nggak terlalu tertarik buat menjawab perkataan gue.
"Yang ini jauh dari rumah Mama," jawab Nisrina.
"Tolak aja udah. Kita cari yang deket. Pasti ada."
"Lihat dulu tempatnya. Jangan keburu nolak."
Gue memasang wajah memelas. "Deket sama sekolah nggak?" tanya gue. Gue nggak mungkin cari rumah yang jauh dari tempat ngajar.
"Lumayan deket kalau dari tempat kamu kerja," jawab Nisrina. "Udah aku kirain juga. Tapi ya kemungkinan jauh dari rumah Mama. Kita lihat dulu. Kalau cocok ya lanjut. Kalau nggak ya nggak papa. Kan belum ada uang masuk juga."
Gue nggak membantah. Perdebatan kecil semacam ini masih sering terjadi di keluarga kecil kami. Kalau sekarang, gue harus pinter-pinter ngalah dan cari celah. Kalau perdebatan kayak gini dilanjutkan bukan hanya cerita tiga tahun bakal terulang. Nisrina bakal pergi lagi. Kesempatan gue buat minta maaf juga bakal hilang.
Yang musti gue lakukan sekarang, membuktikan kalau gue nggak bakal bertingkah bodoh lagi kayak dulu.
Tetap menjaga keluarga kecil kami seperti sekarang.
****
~ Kamis, 11 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...