Chapter 14. [A]

163 7 6
                                    

Fazwan POV

Sudut bibir gue otomatis tersenyum begitu melihat gadis kecil berusia dua setengah tahun berlari ke arah gue. Sosok yang hampir tiga tahun ini berjauhan sama gue. Bersama sosok wanita yang sangat gue rindukan, Nisrina. Berdiri tepat di belakang gadis itu sambil tersenyum manis ke arah gue. Gizem, gadis kecil kami, tanpa berpikir lagi langsung berlari melompat memeluk ke arah gue.

"Hai, apa kabar?" tanya gue.

"Dari kemarin nggak sabar pengen ketemu kamu. Semalam nggak berhenti rewel."

Gue langsung memeluk erat Gizem. Anak kecil mana yang nggak kangen kalau dipaksa pisah sama ayahnya sendiri. Apalagi Gizem anak cewek. "Mau tidur sama Ayah nanti?"

"Em," jawab Gizem. Seraya melingkarkan tangan mungilnya ke leherku. Bergelayut di sana. Bahkan beberapa kali mengecup pipi gue.

"Udah pada makan semua?" tanya gue penasaran.

"Udah kok. Sebelum berangkat udah makan roti. Kita langsung pulang aja. Kayaknya Gizem juga kelihatan capek banget."

Sesuai dengan rencana. Tiga tahun yang lalu Nisrina memutuskan buat pindah kerja ke Ausie. Hanya butuh waktu empat sampai enam bulan di sana, dia bekerja sebagai penulis sekaligus sutradara di perusahaan film. Gue awalnya terkejut. Nisrina ternyata berbakat juga. Gaji dia sekarang jauh lebih besar dari gaji gue yang hanya bekerja sebagai guru tidak tetap di Sekolah Internasional. Setengah tahun pertama Gizem dulu masih sama gue di Jakarta, setelahnya dia ikut Nisrina.

Nggak ada yang berubah dari status gue. Meskipun kami udah jarang ketemu secara langsung gini. Nisrina masih jadi istri gue. Meski jauhan kami rutin vidio call minimal sehari sekali. I don't know kenapa dia mau bertahan, mempertahankan pernikahan kami. Tapi gue beneran bersyukur banget. Gue masih bisa jadi ayah sepenuhnya buat Gizem. Nggak tahu lagi gimana rasanya kalau gue kehilangan keluarga kecil ini. Sementara Nisrina, nggak ada yang berubah dari sikapnya. Tetap cuek seperti biasa. Dan gue makin nggak bisa menjaga pertemanannya di luar kantor. Sebenernya bikin gue khawatir setiap hari. Gue takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Beneran takut.

Awal gue ke Ausie. Kami bertengkar besar hanya karena dia dekat dengan cowok-cowok Ausie. Jujur gue merasa kalah telak jika dibandingkan sama mereka. Hanya berdasarkan asumsi bodoh gue. Pertengkaran itu terjadi. Waktu itu Nisrina marah hampir nggak nyapa gue selama dua bulan. Tapi gue susulin ke sana. Minta maaf dan berkat Gizem, kita jadi baikan. Anak itu dengan sengaja pura-pura sakit agar gue sama Nisrina kembali baikan seperti semula. Gue jadi bersyukur banget sekarang. Selama tiga tahun berjauhan sama mereka bikin gue sadar kalau cinta gue cuman ada buat mereka, yang lain cuma pelengkap. Hubungan jarak jauh ini bikin gue capek. Bohong kalau semisal gue bilang enggak. Di sisi lain hubungan kayak gini bikin rasa cinta gue makin hari makin nambah.

"Pulang berapa bulan?" tanya gue ke Nisrina begitu duduk di kursi penumpang. Memangku Gizem yang berontak pengen duduk sama gue.

"Minggu depan mau ke Paris," kata Nisrina. "Mau nitip Gizem."

Gue berdecak. "Kamu sengaja pulang buat nitip Gizem?"

Gue lihat Nisrina malah tertawa. "Kalau mau ikut aku beliin tiket."

"Alasan aja, emang niatnya mau nitipin Gizem kan?" protes gue. "Nggak ada gitu niat pulang buat aku? Nggak kangen apa udah hampir tiga tahun tinggalnya jauhan."

Nisrina mendengus.

"Awas ya kalau suaminya direbut cewek lain!"

"Ya nggak papa. Emang ada yang mau?" goda Nisrina bikin gue makin jengkel.

"Banyak kok. Di dating apps banyak cewek yang mau," ledek gue.

Nisrina diam. Membalas pesan chat di ponselnya. Gue lirik bentar sebelum dia akhirnya menaruh kembali ponsel itu agak sedikit lebih kasar. Kelihatan kesal. Gue meringis. Baru kali ini Nisrina kesal sama kerjaan.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang