Chapter 8. [A]

269 9 1
                                    

Nisrina POV

Nomor tidak kenal muncul di layar ponsel, saat aku melangkahkan kaki meninggalkan ruang kubikel. Mengamati sekeliling sebelum aku memutuskan untuk menjawab panggilannya. Suara Ammar seiring dengan langkah menggema di telingaku. Aku tidak ada cara lain untuk mengabaikan panggilan itu. Mengingat ini sudah panggilan yang ke dua puluh. Aku hanya bersikap baik, sisanya kita lihat saja nanti.

"Ya?"

"Udah dapat bunga dari resepsionis nggak?"

"Udah. Makasih." Aku baru sadar kalau karangan bunga mawar di meja tadi adalah pemberian Ammar. "Maaf nggak bisa balas," jawabku.

Setelahnya kami sama-sama diam. Aku saja tidak berniat lagi ngobrol lebih panjang. Malah berharap memutus sambungan secepat mungkin. "Boleh nggak minta temenin?"

Dahiku berkerut mendengarnya. "Aku udah punya suami kalau kamu ingat."

"Cuman nemenin ngobrol aja. Nggak lebih. Kita lupain masalah yang dulu-dulu. Buat sementara."

Nada suaranya terdengar mendesak. Membuatku malah terdengar ragu. "Kamu sadar nggak sih kalau kita bukan siapa-siapa lagi?"

"Please..."

Terdengar suara memohon dari Ammar. Suara itu membuatku mengingat hal-hal kecil tentang Ammar.

"Oke, dimana?" tanyaku pada akhirnya. "Hanya setengah jam, nggak lebih."

"Rooftop kantor kamu. Nggak usah beli makanan juga, aku udah beli kok."

Aku mendengus. Mematikan panggilan. Beralih ke kantin buat beli minum. Kalau dia beli makan, biasanya bakal lupa untuk membeli minum.

Ternyata aku tiba di rooftop lebih awal. Beruntung rooftop kosong. Biasanya ada saja orang yang naik ke lantai atas untuk menyepi atau bahkan ngerokok. Termasuk aku dulu waktu masih pacaran sama Ammar. Kami sering bertemu di sini. Menghabiskan jam makan siang kami di tempat ini. Salah satu tempat yang dijadikan anak-anak kantor sebagai tempat favorit. Sambil menunggu Ammar, aku menyandarkan punggung di pembatas rooftop, menoleh ke bawah melihat jalanan Jakarta yang terlihat sangat padat. Sementara angin tak kalah hebohnya menyapu wajahku.

Tidak lama sampai aku menyadari kedatangan seseorang. Dia menepuk pundakku lebih dulu sebelum membuka suara dengan sapaan hangat. Membuatku menoleh dan kembali melihat deretan gigi putihnya. Aku lihat Ammar membawa dua kotak styrofoam. Dari tempat yang sering kami kunjungi dulu. Aku masih ingat kantung kreseknya.

"Beruntung banget nggak terlalu panas," kata Ammar.

Aku berdeham. Mengikutinya mencari tempat yang lebih nyaman buat makan. Menarik kursi panjang yang biasa dipakai anak-anak kantor buat nongkrong. Kemudian kami duduk saling berhadapan. Membiarkan Ammar membuka kotak styrofoam ayam geprek kesukaan kami.

Diam-diam aku memperhatikan Ammar. Sejak kapan dia memelihara jambang? Dulu waktu bersamaku, dia selalu menjaga penampilannya. Punya jambang sedikit saja menurut dia sangat mengganggu.

Setelah menyerahkan kotak styrofoam untukku, aku lihat Ammar mengalihkan pandangannya. Enggan menatapku. Pandangannya juga terasa kosong dan aku baru sadar kalau matanya agak sedikit lebih bengkak. Sangat jelas terlihat kalau Ammar tidak sedang baik-baik saja.

"Makan dulu aja, aku habis ini," kata Ammar memecah keheningan. Dia sepertinya masih menahan diri. Suaranya terdengar lebih berat dari yang biasa terdengar. Jujur membuatku hanya menurut saja.

Aku memilih tidak langsung menjawab.

Membiarkan Ammar bisa mengendalikan dirinya sendiri. Aku tidak mau bicara sama orang yang agak sedikit lebih emosional.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang