Fazwan POV
Sepulang dari nganter Nisrina, gue jelas gelisah. Banyak hal yang musti gue pikirin. Mulai dari memastikan Nisrina serius dengan ucapannya, bukan hanya sekedar pelariannya saja. Sekaligus bingung juga harus gimana ngomong ke Mama. Gue nggak mungkin diem aja. Kalau nggak, Nisrina mungkin bakal menyingkirkan gue dari daftar cowok yang kemungkinan bisa diajak serius. Terakhir Ammar dan gue nggak mau jadi salah satunya.
Gue nggak langsung ke kamar. Memilih buat duduk di pantry. Sambil ngecek beberapa tugas murid yang dikirim via e-mail. Gue rasa, gue nggak bakal bisa tidur. Itu kenapa gue memilih buat periksa tugas anak-anak. "Loh belum tidur?" sapa Mama. Gue nggak tahu sejak kapan Mama berdiri di sana. Lalu menghampiri gue. Gue cuman bisa senyum. "Baru nyampe ya? Belum ganti baju loh kamu." Gue hanya mengangguk. Menunjuk monitor laptop. Setelahnya Mama cuman geleng-geleng kepala. Gue sendiri bukan tipe orang yang suka membawa pulang pekerjaan. Toh gue cuman seorang guru olahraga, kerjaan gue kalau dipikir-pikir nggak sebanyak Mama sebagai seorang distributor snack.
"Mah, boleh masakin nasi goreng nggak? Laper banget nih," pintah gue.
Sambil berdecak, Mama mengacak rambut gue. "Belum makan?" tanya-nya. Beliau jalan ke belakang pantry buat masakin gue nasi goreng. Plus goreng ayam kayaknya, gue lihat Mama ambil potongan ayam di kulkas. Gue senyum. "Tadi sama Nisrina emang nggak cari makan dulu?" tanya Mama. Gue balas menggeleng. Gimana mau makan? Kalau kita aja sibuk sama pikiran masing-masing. "Gimana sih kamu, emang gaji dari sekolah nggak cukup buat jajanin anak orang?" protes Mama. Gue meringis karena sindiran telak dari Mama.
"Bukan nggak cukup, Mah. Tadi Nisrina ada lembur di kantor. Pulangnya malem banget jadi ya langsung pulang aja. Aku tawarin makan nggak mau ya udah deh. Pulang. Malah aku yang kelaperan. Makanya minta buatin Mama nasi goreng," jawab gue meringis. Mama menatap gue tajam seolah tidak terima dengan apa yang udah gue katakan.
"Kalau Nisrina laper kamu diem aja meskipun dia nggak mau makan? Nanti kalau malah dianya yang sakit?" Bukannya membela gue, Mama malah mengomeli gue habis-habisan. "Kamu udah pastiin dia makan di rumah?" tanya Mama. Gue menggeleng. Bahkan sekarang aja pesan chat gue nggak digubris lagi. Nisrina memang yang paling suka mengabaikan gue gitu aja. Gue juga nggak tahu di kantor tadi dia beneran udah makan atau belum.
"Tadi udah aku beliin cake kok Mah, lumayan lah buat ganjal perut," jawab gue asal. "Lagian Nisrina aku tanya tadi udah makan kok."
"Alasan aja kamu!"
Dulu pas awal-awal kenal Nisrina, Mama memiliki peran cukup andil. Kedua orang tua kami saling mengenal satu sama lain. Itulah yang menjadi awal dari pertemuan kami. Mama mengeluhkan gue yang udah mulai menua tapi nggak nikah-nikah. Sementara Mama-nya Nisrina mengeluhkan tentang hubungan putrinya yang kandas setelah sebelas tahun pacaran. Gue awalnya sangsi dengan perjodohan ini, tapi setelah bertemu Nisrina. Semuanya jadi jelas. Gue tertarik buat kenalan lebih jauh. Meskipun Nisrina terlihat nggak tertarik buat kenal gue. Dia hanya tertarik buat ngelupain Ammar dari hidup dia gue rasa, itu kenapa dia mau-mau saja dijodohkan seperti ini. Sedikit mengecewakan memang.
Kita kembali ke mobil tadi, pertanyaan tentang keseriusan yang Nisrina katakan inilah yang bikin gue agak sedikit bingung dan nggak percaya. "Mah? Boleh tanya nggak?" tanya gue. Mau nggak mau gue garus membicarakan masalah ini ke Mama. "Respon orang tua Nisrina tentang aku gimana ya?"
"Tumben kamu tanya-tanya?" tanya Mama keheranan. Keningnya menyipit curiga tetapi tetap senyum.
"Ya enggak, kalau aku serius sama Nisrina mereka bakalan setuju nggak ya?" Mama seketika menghentikan segala aktivitas-nya. "Iya, gajiku emang nggak seberapa sih, Mah. Rasanya itu harusnya bukan penghalang niat untuk nikahin Nisrina." Mama diam. Tampak terkejut atau mungkin nggak percaya. Sama gue juga nggak percaya. "Nikahin anak orang emang yang paling berat. Tanggung jawabnya besar, Mah. Meskipun gitu Fazwan bakal tanggung jawab kok. Kalau emang gaji Fazwan kurang, Fazwan bakal cari kerjaan tambahan."
Mama mematikan kompor. Gue rasa nasi dan ayam gorengnya masih belum matang. Memilih menarik kursi di depan gue. Lalu mulai membuka mulut untuk bicara. "Kamu serius mau nikahin Nisrina?"
Gue mengangguk. Apalagi? Nisrina toh juga pengen kejelasan dari hubungan ini. "Iya, Mah."
"Nisrina mau?" tanya Mama. "Maksud Mama dia udah siap nikah?" Mama mungkin sama nggak percayanya kayak gue. Yap, cerita Nisrina gagal move on udah nyampe di telinga Mama. Nggak akan ada yang menduga kalau semua secepat ini.
Gue mengangguk. "Malah Nisrina yang mau, Mah."
"Seriusan?" tanya Mama menyipit curiga. "Bukannya dia masih cinta sama siapa tuh mantannya? Arman? Aman? Amir? Nggak tau deh siapa. Intinya kan Nisrina masih sayang banget sama mantannya. Ini bukan kamu yang maksa dia nikah kan?" pertanyaan Mama malah bikin gue ragu mengambil keputusan.
"Enggak kok Mah, Nisrina aku rasa udah move on," jawab gue berusaha menutupi. "Kalau nggak mah ngapain juga ngajak nikah?" Gue senyum geli sendiri. "Emangnya nikah itu main-main?" tanya balik gue. "Soal Nisrina ngajak nikah, dia beneran serius kok. Fazwan sendiri bisa jamin."
Senyum Mama terlihat cukup lebar. "Ya udah kalau gitu. Nanti coba Mama diskusikan sama Papa kamu," kata Mama bersemangat. "Jadi lupa mau masakin kamu nasi goreng." Mama buru-buru berdiri melanjutkan memasak.
"Doain ya Mah, semoga nggak ada halangan," kata gue. "Fazwan takut sendiri nggak bisa yakinin keluarga Nisrina. Tentang gaji Fazwan yang nggak seberapa."
"Kok gitu sih? Itu proses, Sayang. Gaji kamu lumayan juga kok. Ga usah minder gitu dong. Yang penting punya kerjaan tetap." Mama terlihat tidak terima.
Gue mengangguk setuju. Tapi siapapun orang tuanya pasti ingin yang terbaik untuk putrinya dan gue bukan kandidat itu.
Bukan cuma Nisrina yang gamon, menghadapi orang tua Nisrina juga sangat menakutkan.
Sial!
Kalau kayak gini gue harus banyak-banyak sholat, biar doa gue terkabulkan.
****
~ Minggu, 24 Desember 2023
Jangan lupa kasih vote dan komen ya, see you next chapter. Dan bagi kalian yang pengen baca chapter selanjutnya lebih dulu, silahkan kunjungi KaryaKarsaku, link sudah aku taruh di bio ya. Bye... Bye...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...