Chapter 3. [A]

564 13 5
                                    

Fazwan POV

Gue mengikuti langkah Bu Wiwin, berniat makan di kantin sekolah. Kebetulan Nisrina nggak buatin bekal buat gue. Jadi waktu Bu Wiwin ngajak gue ke kantin, gue mau-mau aja. Kebetulan lagi laper banget habis main futsal tadi sama anak-anak.

Menu kantin anak sekolahan nggak terlalu banyak. Ada mie instan, nasi campur sama bakso doang. Sementara camilannya hanya ada siomay dan juga batagor. Bu Wiwin selalu memesan menu yang sama setiap kali datang ke kantin, nasi campur. Sementara gue lebih suka bakso. Beli ukuran dua porsi biar kenyang. Gue selalu dapat protes Bu Wiwin tiap kali pesan dua porsi. Gue cuman senyum. Namanya juga guru olahraga, lebih butuh tenaga ekstra dibanding guru geografi. Gue udah bilang gitu tapi Bu Wiwin mencebik tidak terima. Dia masih berpikir kalau guru geografi masih lebih capek karena mengurus anak-anak bandel yang nggak mau masuk ke kelasnya selama pelajaran.

"Udah ambil program hamil, Pak?" tanya Bu Wiwin tiba-tiba. Bikin gue tersedak. Pertanyaan yang muncul tiba-tiba itu tidak terduga. Gue nggak nyangka Bu Wiwin bakal menanyakan hal itu. Soalnya gue juga nggak kepikiran buat ambil program hamil.

Iya, nunggu Nisrina siap. Dia pernah bilang kalau buat sementara ini belum kepikiran punya anak. Kayaknya memang belum siap. Jadi gue diem aja. Jangankan berpikir tentang anak, berhubungan intim aja belum pernah. Meskipun pernikahan kami udah jalan tiga bulan.

"Belum, Bu. Istri saya kayaknya memang belum siap buat punya anak," jawab gue cepat. Gue juga buru-buru buat menghabiskan bakso di depan gue. Daripada ditanya macam-macam lagi kan? Gue nggak mau terjebak sama pembicaraan seperti ini.

"Kok gitu sih Pak? Cewek jaman sekarang ya udah mulai males punya anak."

Kedua alis gue mencuat begitu mendengar perkataan Bu Wiwin.

Gue nggak masalah juga kok kalau Nisrina memang maunya seperti itu. Yang punya badan dia. Mau hamil atau nggak ya terserah dia. Bagi gue sih gitu. Gue nggak minta apapun. Apalagi setelah tahu kalau hamil ternyata pertaruhan hidup dan mati. "Saya nggak masalah kok, Bu. Mau istri saya punya anak atau nggak. Senyamannya dia aja."

Bu Wiwin setelahnya cuma manggut-manggut. Membuat perbincangan kami pada akhirnya sedikit lebih kagok lagi. "Tapi Pak, masa' Bapak pengennya kayak gitu sih? Masa' Bapak nggak pengen punya anak gitu? Punya penerus yang bisa dibanggain. Nggak enak loh Pak sendiri tua nanti. Ya anak emang nggak ngejamin sih Pak. Tapi seenggaknya kalau punya anak masa tua kita, waktu kita nggak bisa ngapa-ngapain nanti ada yang peduli loh. Ya ini saran saya sih. Kalau Bapak berpikirnya lain ya nggak papa."

Siapa yang nggak pengen punya anak? Siapapun sih mau. Gue juga mau. Tapi kalau istri belum siap gue bisa apa? Gue juga nggak bisa hamil sendiri. Kalau bisa sih ya biar gue aja.

"Bapak emangnya nggak kepikiran mau punya anak?" Bu Wiwin kembali bicara.

Gue udah muak banget. Buru-buru gue habiskan suapan bakso yang terakhir. "Saya mau siap-siap ngajar dulu, Bu. Permisi," jawab gue. Buru-buru pergi.

Kayaknya gue nggak bakal mau lagi kalau Bu Wiwin ngajakin gue makan bareng lagi di kantin. Nyinyirnya udah kayak emak-emak arisan. Gue sebenernya nggak kaget kalau Bu Wiwin nyinyir banget, tapi nggak buat ngurusin rumah tangga gue.

"Pak Faz." Gue menoleh ke sumber suara. Pak Dio, guru olahraga kelas dua belas. Gue berhenti sebentar. Dia ketawa lalu berlari ke arah gue. Bikin gue menyipitkan mata curiga. "Cieeee yang habis kencan sama Bu Wiwin," godanya. Gue kembali melangkahkan kaki menjauh.

"Itu emak-emak yang ngajak gue makan di kantin," jawab gue kesel sendiri. Tapi nggak terlalu keras takut anak-anak pada denger.

Dio menghela napas panjang. Menyusul langkah gue lebih cepat. "Curhat apa lagi itu emak-emak, kok sampe muka lo kelihatan bete?"

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang