Chapter 15. [B]

117 5 3
                                    

Nisrina POV

Keadaan rumah terasa sepi begitu kami sampai, memarkirkan mobil di garasi, baik Mama maupun Papa tidak ada yang sadar kalau kami pulang. Mas Fazwan mematikan mobil, bergegas turun. Menurunkan koper. Sementara aku berjalan ke dalam rumah. Menghidupkan lampu bawah. Kemudian naik ke atas, menghampiri Gizem di kamarnya. Aku lihat anak itu sudah tidur, dengan Mama yang ada di sebelahnya. Keduanya terlihat sangat nyenyak. Membuatku mundur menutup kembali pintu kamarnya. Tidak ada yang tahu kalau kami pulang malam ini.

Setelah itu aku kembali turun. Menuju pantry. Membuat kopi untuk menghilangkan jetlag di kepalaku. Perjalanan 16 jam benar-benar membuat kepalaku hampir pecah. Kalau bukan karena Mas Fazwan ingin cepat-cepat pulang, mungkin aku masih di sana, santai menikmati udara Paris yang sangat mengagumkan.

"Gizem udah tidur?" Pertanyaan itu membuatku menoleh.

"Udah. Baru tidur kayaknya. TV masih nyala."

"Nggak kamu matiin?"

Gue menggeleng. Menaruh kepala di meja pantry. "Belum. Ada Mama juga di sana."

"Ya udah, bentar. Aku ke kamar Gizem dulu. Habis ini aku turun."

Ada rasa tidak peduli. Tetapi aku balas anggukan saja.

Tidak lama Mas Fazwan kembali. Menepati janjinya. Duduk di depanku. Menaruh makanan yang baru kami beli di perjalanan tadi.

"Makan dulu biar perutnya ke isi," ujar Mas Fazwan membuka bungkusan nasi goreng di hadapanku.

Aku menatap kosong wajah Mas Fazwan, memperhatikan dia mengunyah nasi goreng.

"Seriusan cuma ngeliatin doang?"

Aku mengangguk, buru-buru mengambil sendok melakukan hal yang sama.

"Maaf karena ngerusak rencana kamu di sana. Tapi aku beneran nggak ada maksud ngerusak semua rencana kamu. Nanti uangnya aku ganti. Uang yang terlanjur masuk."

Aku diam sebentar. Seolah semua bisa dengan mudah diselesaikan dengan uang. Lagian Mas Fazwan seolah banyak uang sekali. Dia tidak ingat kalau selalu tipis di dompet. "Emang kamu punya uang?" tanyaku.

"Iya nanti aku pinjamkan ke Mama. Kamu bilang aja angkanya berapa," jawabnya sok. Yang aku balas dengan dengusan.

Dia sepertinya tahu kalau aku tidak percaya dengan semua ucapannya.

Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Tiap kali bertengkar. Kamu selalu bilang nanti uangnya aku ganti, kamu pikir semua selesai sama uang?" Aku hampir meninggikan suaraku. Lupa kalau ini rumah mertua. "Kamu tuh ya, terus aja bilang gitu. Endingnya pinjam Mama. Nggak capek apa kamu ngomongin hal yang nggak penting gitu?" tanyaku. "Kayak ada aja uangnya. Semua dibeli pakai uang. Aku juga punya uang asal kamu tahu." Jelas aku menggerutu karenanya.

"Ya gimana, Yang. Uangnya emang nggak ada."

Aku hampir frustasi menghadapinya. "Serah kamu deh, Mas. Capek!"

Dia menunduk. Merasa bersalah.

Kembali mengunyah nasi gorengnya. Sementara aku hanya memandanginya.

Aku pikir selama tiga tahun ini banyak yang berubah dari Mas Fazwan. Ternyata semua itu sama saja. Kalau bisa dibilang capek, jujur capek banget. Banyak hal yang aku lewatkan sekaligus aku biarkan.

Pernikahan yang dulu aku pertahankan harusnya berbuah dengan baik sekarang. Bukan semakin menambah kebimbangan yang ada. Seperti sekarang, aku berpikirnya tidak ada yang berubah tentang hubunganku dengan Mas Fazwan.

Aku lebih dulu berdiri. "Kamu lanjut aja, Mas."

Mas Fazwan berdecak.

"Habisin dulu nasi gorengnya. Mubazir kalau nggak ada yang makan."

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang