Chapter 5. [B]

292 7 0
                                    

Fazwan POV

Bandara, jadi tempat terakhir gue menatap wajah Nisrina. Dia hanya bermuka datar waktu gue berpisah dengannya. Acara pelukan, saling kecup, nggak pernah terjadi. Yang gue sadari ternyata itu cuman adegan film. Selebihnya orang-orang yang berpisah cuman saling senyum bahkan ada yang cuman natap doang.

"Lo mau nitip makan nggak?" tanya Dio menawarkan ke gue. Baru sampai, Dio langsung melipir cari makanan. Laper katanya. Sementara gue cuman mau satu, ngabari Nisrina. Siapa tahu dia lagi nunggu kabar dari gue.

"Ya udah, Yo. Cari makan gih. Ntar malam gue. Ganti-gantian." Gue menyarankan. Setelah Dio beneran cabut buat cari makan. Gue segera merogoh ponsel. Buat menghubungi Nisrina. Di sambungan pertama nggak ada jawaban. Sampai di panggilan ketiga baru dia menjawab panggilan gue.

"Hm."

Nisrina menjawab dengan sangat juteknya. Gue sampai membayangkan wajah dia ketika menjawab panggilan ini.

"Udah sampe," jawab gue. "Kamu udah di kantor, Sayang?"

"Baru juga ketemu atasan. Kamu ngapain sih nelpon kalau nggak penting-penting amat?" protesnya. "Ngabarin lewat chat kenapa sih?"

Jawaban kesal Nisrina mampu bikin gue bungkam. Yang akhirnya dari Nisrina sendiri dia memutuskan panggilan sepihak. Gue cuman berkedap-kedip, kecewa. Bukannya sebelum berangkat tadi dia setuju-setuju saja gue telpon? Kenapa sekarang jadi berubah pikiran. Gue buru-buru mengirimkan pesan balasan.

Gue: Maaf ya, Yang.

Gue: Aku ganggu kamu banget pasti.

Kurang beberapa detik jawaban Nisrina muncul.

Nisrina❤️: Kamu tahu waktu nggak sih.

Nisrina❤️: Aku lagi di kantor.

Nisrina❤️: Nggak bisa seenaknya jawab telpon dari kamu.

Gue: Iya deh iya aku ngaku salah🥲

Setelah itu hening. Nggak ada jawaban sama sekali. Gue cuman bisa membaca kembali pesan chat yang sudah terkirim. Membayangkan apa yang dilakukan Nisrina. Room chatnya masih online tapi enggan membalas. Memang, paling malas kalau Nisrina sudah ada di kantor. Pikirannya cuman terdistraksi buat kerja.

Beruntung nggak lama Dio datang. Membawa dua nasi bungkus. Mengulurkan ke arah gue. "Asem banget muka lo?" tanya Dio keheranan. Mungkin karena sebelum berangkat, gue kelihatan seneng banget. "Kenapa? Kana damprat bini lo? Syukur gue nggak nikah sampai sekarang." Sambil membuka bungkusan nasi, gue rasa Dio nyindir gue habis-habisan.

"Kerja dia, nggak bisa diganggu," jawab gue.

"Tadi nganterin lo. Kok sekarang udah kerja aja? Nggak cuti?" tanya Dio, mulutnya sudah penuh dengan nasi. Gue heran sendiri gimana caranya makan sambil ngomong gitu. "Istri lo udah lama kerja di PH film ya?" tanya Dio mulai muncul penasarannya.

Bukan cuma lama. Dari lulus kuliah dulu, bahkan sebelum kuliah Nisrina jadi freelance writer. Baru-baru aja dia gabung ke PH dan ngurus banyak hal. Makin lama makin sibuk. Makin marah-marah kalau di telepon. Padahal kan gue cuman pengen tahu kabarnya doang. Bukan niat ganggu, ya mana tahu juga dia sibuk di sana. "Lama sih dari lulus kuliah. Udah nyaman banget kerja di sana. Uangnya juga enak. Bayaran per project sih, tapi lumayan gede. Sedikit kalau ngerjain acara TV. Gaji gue aja nggak nyentuh sama sekali." Dio tertawa. Jenis tawa mengejek yang bikin gue mengernyitkan kening. "Tapi gue bahagia banget, nggak kayak lo jomblo banget.'

Si Dio malah meringis. Kemudian dengan entengnya menjawab, "Ya karena itu alasan gue nggak mau nikah lah. Ribet tau. Udah uang disetirin istri. Eh malah hidup kayak banyak beban."

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang