Chapter 18. [A]

104 6 3
                                    

Fazwan POV

Malam ini nggak banyak yang gue kerjakan. Kerjaan udah gue selesaikan semuanya. Seperti biasa duduk sendirian di balkon kayak ini udah jadi rutinitas wajib. Kadang Nisrina juga ikut menemani kalau dia nggak lagi sibuk ngobrol sama anak-anak yang mulai besar dan makin ribet hidupnya. Kemarin aja tiba-tiba Ayyub nyodorin pendaftaran ikut lomba coding. Bukan nggak ngebolehin tapi dianya bilang mendadak kalau lagi butuh laptop spek dewa. Kan kita sebagai orang tua juga kadang nggak tahu apa-apa soal spek laptop sekaligus harganya. Endingnya marah karena dia pikir kita nggak kasih izin.

Pernah waktu itu Minggu pagi, gue dapati Ayyub lagi duduk dengan wajah bete dihalaman belakang sambil mainan burung Lovebird. Tiba-tiba halaman belakang udah penuh dengan burung dan kucing. Bikin Nisrina dan juga Gizem uring-uringan. Gizem bilang kucing Ayyub ganggu waktu dia jemur pakaian. Kalau gue sih nggak ambil pusing. Perkara rumah nggak bau, gue nggak bakal protes.

Nisrina bilang, makin lama Gizem dan Ayyub jadi sering bertengkar. Ada saja yang diributkan. Ini saja Nisrina kelihatan sibuk banget di bawah buat ngurus mereka. Udah besar bukannya makin akur, makin ada aja yang diributkan. Gizem yang paling vokal mengkritik adiknya.

"Kenapa lagi mereka?" tanya gue ke Nisrina yang baru saja membuka pintu kamar.

Nisrina mendengus dengan perkataan gue. "Muntahan Tomy di depan pintu belakang keinjek Gizem. Katanya mau muntahannya itu amis banget. Gizem ngomel-ngomel deh."

Gue geleng-geleng kepala. Untuk ukuran cowok pendiem, biasanya Ayyub nggak suka ngeladeni ocehan Kakaknya. Tapi entah kenapa hari ini dia kelihatan emosional banget. Habis ini kalau dia ada waktu gue bakal ajak dia main basket bareng. Kalau nggak gitu dia bakal uring-uringan terus setiap hari.

Tentang Gizem sendiri, gue nggak berhenti bersyukur ketika dia tiba-tiba minta izin buat tunangan. Awalnya gue beneran ragu dengan keputusan Gizem. Dia baru saja lulus kuliah. Baru saja mendapat pekerjaan bagus, eh tiba-tiba kepikiran buat tunangan. Sebagai seorang Ayah, ragu itu wajar. Tapi gue nggak bisa terlalu ikut campur dengan masa depan Gizem. Perlahan semua juga bakal pudar. Dan Gizem akan menjadi istri orang. Anak-anak pasti memiliki masa depan masing-masing.

Dimata gue, cara Adi memperlakukan Gizem selalu sama. Bahkan mereka jarang banget bertengkar untuk hal-hal sepele. Semua saling percaya satu sama lain. Ketakutan gue sebagai orang tua harusnya tidak terjadi. Gue bahkan selama prosesi pemilihan vendor sampai sewa gedung untuk acara, nggak banyak ikut campur. Kecuali denger langsung dari Nisrina.

"Untuk undangan engagement, Giz minta pengurangan undangan. Katanya biar lebih private."

Udah gue bilang kan. Buat anak generasi sekarang. Undangan tiga ratus orang itu udah terlalu banyak buat mereka. Kalau nggak mau banyak undangan harusnya nggak perlu bikin acara megah kayak gini. Gue cuman bisa mendengus. Pengurangan undangan artinya nggak ada undangan orang tua. "Giz bilangnya gimana?" tanyaku penasaran. Ada sekitar seratus tamu undangan dari temen-temen gue. Masa' dibatalin gitu aja. "Dia harusnya bilang dari awal kalau acaranya dibikin lebih private. Kalau perlu nggak usah undangan sekalian," omel gue. Gue udah terlanjur bilang ke temen-temen lagi. Bikin kesel aja.

Nisrina cuman nyengir. Dia tahu kalau gue lagi kesel banget. Tapi nggak mau memancing lebih dalam. Memilih untuk diam. Sebisa mungkin menutup kekesalanku. Dia kemudian memberikan solusinya. Mengatakan kalau tiba saatnya pernikahan nanti, dia sendiri yang akan mengatur undangan pernikahan.

"Kalau udah tua tuh banyak ya pikiran," kata Nisrina tiba-tiba. "Ngurus ini itu. Ada beberapa hal yang musti dinomor satukan. Bukan lagi tentang diri kita sendiri."

Yang dikatakan Nisrina ada benernya. Gue nggak pernah kepikiran ke sana sih sebetulnya. Kalau dipikir-pikir jadi orang tua itu memang capek. Capek semua, secara mental dan tentu saja secara finansial. Di mata gue, jadi orang tua itu perkara membagi waktu, antara ke diri sendiri, istri dan anak-anak. Andai ada satu waktu saja yang kurang, salah satunya mungkin bisa saling membenci. Dulu awal memiliki anak, ini yang paling sulit. Sekarang, bangga aja bisa melaluinya. Kami hampir nggak pernah bertengkar, ya ada sih pertengkaran kecil dan palingan besok juga selesai. Sampai sekarang rasanya nggak ada yang lebih dari kata bersyukur. Gue beneran bersyukur banget. Beneran. Punya istri yang pengertian dan bisa mengontrol emosiku.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang