Nisrina POV
Setelah kurang lebih dirawat selama dua hari aku sudah boleh pulang. Sementara bayi kami masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Dokter bilang kondisinya sudah mulai membaik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali berat badannya. Masih kurang. Jadi dokter masih belum bisa mengambil resiko memulangkan bayinya bersamaku. Terakhir aku lihat kondisinya, hanya ada satu selang infus yang menempel di tubuhnya. Membuatku cukup lega. Mas Fazwan bilang nanti dia akan datang setiap hari untuk melihat kondisi Gizem, otomatis membuatku lega. Kalau bisa Mas Fazwan nungguin di sana sampai Gizem diperbolehkan pulang. Sementara untuk ASI aku harus memompa setiap jam agar dadaku tidak sakit.
"Aku juga bisa harusnya jenguk Gizem sama kamu. Aku ikut boleh nggak sih? Aku bosen kalau di rumah terus kayak gini," omelku ke Mas Fazwan yang sibuk membersihkan unit. Ditinggal tiga hari saja sudah berantakan. Apalagi ditinggal seminggu. Setelah ini Mas Fazwan akan mengunjungi putri kami di rumah sakit.
"Jahitan kamu masih belum kering loh, Sayang." Mas Fazwan melirikku sekilas. "Jangan dibuat banyak gerak dulu."
Aku menghela napas panjang. "Iya terus aku sampai kapan kayak gini terus?"
"Sampai luka jahitan kamu sedikit lebih kering lagi. Ya? Sabar dulu ya. Gizem di sana juga baik-baik aja kok. Kamu nggak perlu khawatir lagi. Gapapa. Besok paling udah pulang. Dokter bilang kondisinya baik-baik aja kok."
Ini yang aku kesal dari orang-orang rumah. Yang seperti ini membuatku seperti tidak berguna sebagai seorang ibu. Bayangkan saja, ibu siapa yang tidak khawatir sendiri ketika anaknya masih di rawat di rumah sakit. Sementara yang Ibunya lakukan cuma duduk-duduk tidak jelas di rumah. Dan juga tidak ada kegiatan lain yang bisa dilakukan. Perut juga rasanya masih sakit. Bekas jahitan yang belum kering kadang terasa sangat nyeri. Rasa sakitnya menyentuh tulang bagian belakang. Aku meringis dibuatnya.
"Kamu nggak papa kan?"
Mas Fazwan bergegas membantuku duduk di sofa. "Gapapa. Cuman sakit dikit," jawabku.
"Ya udah istirahat dulu. Jangan banyak gerak."
Diam-diam aku memperhatikan Mas Fazwan yang mencoba menaikkan kakiku ke atas meja sofa. "Aku mau ikut ke rumah sakit."
Dia mendengus, namun tetap membantuku untuk memperbaiki posisi duduk di sofa. Sementara aku memasang wajah cemberut. Sesekali meringis ketika merasakan sakit di area perut. "Kalau masih sakit nggak perlu maksain diri. Putri kita baik-baik aja. Kamu sabar dulu ya, Itu anak yang jelas kuat banget kok kayak kamu. Nggak perlu terlalu khawatir." Nada suara Mas Fazwan terdengar sangat pelan. "Gizem juga sama, dia juga pengennya bareng-bareng sama kamu. Sabar dulu. Toh bekas jaitan kamu belum terlalu kering. Nanti kalau kebuka malah infeksi."
Aku seperti orang yang terhipnotis sama perkataan Mas Fazwan. Malah diam mendengarkannya. Melupakan seluruh keinginanku untuk bertemu putri kecil kami. "Fotoin dia ya?" pintahku. "Aku mau lihat. Vidio juga kalau bisa. Kalau dibolehin sama perawatnya."
"Iya... Iya, Sayang." Mas Fazwan mencubit pipiku. "Mau aku bawain apa nanti? Biar nggak bolak balek," katanya menawarkan. Satu sogokan biar aku tetap di rumah saja. Sogokan itu rupanya berhasil. Karena dengan entengnya, aku mengatakan mau dibelikan bakso saja. Ya meskipun lagi-lagi belinya pakai uangku. Setidaknya ada effort buat membelikanku sesuatu.
Ada kiranya sekitar sejam jam aku menunggu kabar dari Mas Fazwan lagi. Berkali-kali membuka room chat, barang kali dia mengirimkan foto bayi kami. Benar-benar membuatku khawatir saja. Kalau sepuluh menit lagi tidak ada chat masuk. Terpaksa aku harus menelponnya. Jarak apartemen ke rumah sakit tidak sejauh sejam perjalanan menggunakan motor.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya chat juga. Minta vidio call. Buru-buru aku menyambungkan panggilannya. Terlihat Mas Fazwan memberikan senyum lebarnya untukku. "Bentar, aku balik dulu kameranya," katanya. Menunjukkan vidio bayi kami. Sudah lepas selang dan semacamnya. Membuatku ikut tersenyum. "Dia pulas banget tidurnya," katanya. "Besok sudah boleh pulang kata dokternya."
Aku diam. Memperhatikan gerak mungil bayi kami.
"Besok sama kamu njemput Gizem-nya. Sekarang yang penting kondisi kamu baik dulu. Biar besok nggak terlalu sakit buat jalan."
Rasa sakit di perutku mulai hilang. Digantikan kebahagiaan mendengar semua perkataan Mas Fazwan. Seluruh isi kepalaku terasa hanya memikirkan malaikat kecil kami.
"Kamu tahu nggak, Sayang? Kata perawat, Gizem nggak berhenti nangis sebelum aku ke sini. Dia kayaknya emang lagi kangen kita deh. Kangen kamu lebih tepatnya sih," oceh Mas Fazwan. Jujur saja, ocehan itu sama sekali tidak aku hiraukan. "Hmmm... Kamu kok diem aja sih? Nggak mau ngobrol sama aku ya sekarang kalau ada Gizem? Makin hari makin cuek," protesnya. Diikuti tawa kemudian. "Udah ya gitu aja, aku janji izin sebentar tadi sama perawatnya. Takut dimarahin."
Perkataan Mas Fazwan memaksaku untuk mengakhiri sambungan telepon. Sementara aku hanya bisa mengangguk. Sedikit cemberut karena sekarang kamera beralih ke wajah menyebalkan-nya. "Habis ini aku kirim fotonya." Setelah itu panggilan teleponnya terputus.
Seperti yang dijanjikan aku menunggu pesan lainnya, muncul nggak lama setelahnya. Aku senyum sekaligus iri ketika melihat foto Mas Fazwan bisa menyentuh tangan mungil Gizem. Dan anak itu entah bagaimana seolah menggenggam jari kelingking Mas Fazwan. Aku jadi ingin memegang jari mungil itu juga.
Aku: Mau juga
Suami❤️: Kamunya besok aja.
Tidak lama Mas Fazwan kembali menelponku. Hanya panggilan biasa. Aku rasa Mas Fazwan sudah keluar dari ruang bayi.
"Sayang?" panggilnya. Aku hanya menjawab dengan dehaman saja. "Jadi kan beli baksonya?"
Spontan aku mengangguk. Lupa kalau itu panggilan telepon, lalu bergumam, "Iya, mau banget."
Terdengar bunyi pintu mobil tertutup. Setelah itu Mas Fazwan kembali membuka suara. "Biaya kamar Gizem ternyata mahal juga," ocehnya. "Aku nggak nyangka loh ternyata kamar bayi lebih mahal daripada kamar kamu. Uang tabunganku kayaknya nggak cukup buat nutup seluruh biaya rawat rumah sakitnya."
"Pakai uangku aja kalau kamu memang nggak ada."
"Nanti kalau ada aku ganti uangnya. Ini harusnya aku yang nanggung seluruh biayanya. Bukan malah kamu," kata Mas Fazwan mendesah frustasi.
"Udah nggak papa. Pakai uangku aja. Nggak perlu diganti. Butuh berapa?"
Setelah Mas Fazwan menyebut nominal transaksinya. Aku langsung mentransfer ke rekening Mas Fazwan. Yang aku mau segala urusan ini segera selesai. Biar putri kecilku pulang. Aku tidak peduli berapapun harga transaksinya.
"Udah aku transfer ke rekening kamu."
"Habis ini bukti pembayarannya aku kirim ke kamu." Aku sebenarnya tidak peduli dengan bukti pembayaran dan semuanya. Itu tidak penting. Yang terpenting Mas Fazwan mengurus semua transaksinya.
"Ga usah sudah. Aku percaya sama kamu, Mas. Tapi awas aja kalau uangnya digunain macem-macem. Lihat aja nanti."
Di seberang sana Mas Fazwan terkekeh. "Emangnya mau aku buat apa uangnya? Aneh-aneh aja kamu. Udah dapat kamu itu rasanya bersyukur banget. Apa sih yang aku harapkan lagi?"
"Gombal," jawabku. "Udah cepet buruan. Aku udah pengen baksonya. Pengen banget!"
Mas Fazwan terkekeh. "Dulu aja pas hamil nggak pernah ngidam. Sekarang udah ngelebihi orang ngidam."
Aku hanya tersenyum tipis tanpa bersuara.
"Ya udah gitu aja."
"Jangan lama-lama."
"Iya sayang. Ini di jalan kok."
"Mas?"
"Iya?"
"Makasih ya?"
"Aku yang harusnya makasih udah mau ngobrol lagi. Nggak tahu nih dimaafin atau nggak?"
Aku mengakhiri panggilannya begitu saja. Bodoh banget. Tidak seharusnya aku kembali mempercayai Mas Fazwan yang berengsek itu.
****
~ Selasa, 11 Juni 2014
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...