Chapter 18. [B]

111 5 2
                                    

Fazwan POV

Sering kali yang kita khawatirkan bener terjadi. Malam itu langkah gue berhenti di depan pintu kamar Gizem. Pintunya terbuka separuh. Udah malam. Kira-kira pukul setengah dua belas malam. Lampunya masih belum dimatikan. Dia nggak pernah tidur semalam ini kalau besok ada jadwal kerja.

Gue meraih ganggang pintu, hendak menutup pintunya. Terhentikan oleh isak tangis Gizem yang terdengar lirih. Gue tahu betul kalau itu adalah isak tangis. Dengan rasa penasaran yang masih mengganjal di hati gue, nggak ada pilihan buat menguping pembicaraan. Hati gue beneran hancur mendengar tangis itu.

Suara lirih Gizem menjawab telepon. Seolah meyakinkan diri kalau dia beneran nggak ada niatan melakukan kesalahan. Kalau bukan telpon dengan Adi siapa lagi coba?

Dengan perasaan dongkol, gue kembali ke kamar. Menyambar ponsel. Membuat Nisrina menyipitkan mata curiga. Di saat yang sama aku langsung mengirimkan pesan singkat ke Adi, agar dia menemui gue. "Kenapa sih kamu?" tanya Nisrina. "Aneh banget, tiba-tiba masuk marah-marah."

Gue cuman diam aja.

Makin membuat Nisrina kesal kayaknya. "Ya udah deh terserah kamu mau cerita atau nggak. Kamu tuh ya kalau ada masalah selalu aja gini. Nggak mau ngomong. Tiba-tiba musuhin orang serumah," omelnya. Nisrina tahu betul kalau gue lagi marah. "Yang kamu marahin itu loh siapa. Kok jadi nggak jelas gini," lanjutnya.

"Gizem."

Nisrina mendengus. "Ya kenapa malah marah-marah nggak jelas di sini?"

"Ya karena dia bodoh banget milih Adi jadi cowoknya. Udah tahu Adi nggak sebaik yang dia kira," ucap gue dengan nada setengah oktaf.

Setelah mendapatkan jawaban dari Adi. Gue langsung menentukan tempat janjian kami. Adi bilang mau jemput gue. Kebetulan banget. Kalau bisa di rumah ini, gue bakal menyelesaikan semuanya. Gue nggak mau masalah ini bergulir terus dan pada akhirnya menyakiti hati Gizem.

Gue memilih duduk di teras sambil nunggu Adi keluar dari rumahnya. Nggak lama dia keluar, nyapa gue dengan senyum lebar. Kayak nggak bersalah sama sekali. "Masuk dulu."

Adi menurut saja. Masuk mengikuti gue dari belakang. "Mau kemana Om?" tanyanya. "Giz ikut juga nggak?"

Gue langsung berbalik. Menonjok hidung Adi hingga dia tersungkur jatuh. Dia menunduk ketika merasakan darah mengalir dari hidungnya. Meskipun tidak bicara, matanya bertanya apa yang gue lakukan ini. Gue langsung menarik krah lehernya. Membuatnya berdiri. Dari tatapannya tidak ada kemarahan sama sekali. Kecuali kerutan di keningnya. Dia sepertinya heran kenapa diperlakukan seperti ini.

Pukulan kedua kembali mendarat di sudut bibirnya. Gue bener-bener ingin memukul hidungnya hingga patah, sayangnya dia menghindar dan mengenai sudut bibirnya.

"Ayahhhhhhh, stop," teriakan itu mampu menghentikan gue ketika gue hendak melayangkan bogem ke tiga. Langkah kaki Gizem menuruni tangga semakin terdengar cepat.

"Apa-apaan sih." Gizem memisahkan kami berdua. Fokus mengusap darah di hidung Adi yang mulai mengalir. "Nggak lucu tau nggak. Ini rumah bukan ring tinju."

"Terus belain dia," sarkas gue. "Nggak lupa kamu bajingannya Adi?"

"Aku nggak ngerti maksud Ayah deh. Tiba-tiba marah-marah nggak jelas," omel Gizem. Membimbing Adi duduk di ruang tamu. Nisrina ikut mempertanyakan keadaan Adi. Melirik gue dengan tatapan penuh kemarahan. "Kamu nggak papa kan?" tanya Gizem ke Adi. Nggak ada yang mempertanyakan keadaan gue. Gue cuman dianggap pemain figuran sekarang. Nggak lagi penting buat mereka.

"Nggak papa," jawab Adi pasrah. Membersihkan mimisan di hidungnya. "Sakit banget."

"Kita ke rumah sakit aja ya, biar dibersihkan dokternya."

Gizem melemparkan tatapan kekesalan ke gue. Lirikan itu tajam banget, bikin gue kicep pada akhirnya.

"Gila kamu mukul anak orang?" bisik Nisrina. "Kalau orang tuanya ngelaporin kamu ke polisi gimana?"

Gue diam sebentar. Memperhatikan Gizem malah panik saat itu. Harusnya dia nggak sepanik itu. Mereka kan lagi bertengkar. "Ayah minta maaf nggak!" tegur Gizem. Dia kelihatan benci banget sama gue. "MINTA MAAF!" pintah Gizem setengah teriak.

Gue mengerjap. "Bukan salah Ayah."

Gizem berdiri. "Ya terus salah siapa? Kenapa sih Ayah kayak gini? Adi ada salah apa? Ini nggak lucu tau, Yah. Jadi orang tua jangan sok kepinteran deh!" Saat mulut Gizem berhasil mengeluarkan kata-kata itu. Dada gue beneran sakit banget. Ada penyesalan yang aku rasakan. Aku benar, harusnya tidak sok pintar main mukul anak orang sembarangan. Semuanya jadi benci gue sekarang. Termasuk Nisrina. Dia jelas nggak dukung perbuatan gue sama sekali.

Nisrina menarik gue menjauh dari keributan. Gue lihat Ayyub juga ada di sana. Melihat keadaan calon Kakak Iparnya yang sudah aku pukuli.

"Aku nggak salah," kata gue.

Nisrina cuman noleh sebentar. "Lebih baik tenangin diri dulu."

Tanpa dituntun lagi menjauh, gue melangkah semakin cepat. Membuka pintu kamar dengan keras. "Terserah kamu mau percaya aku atau nggak."

Nisrina menutup pintu dengan sangat pelan. "Mas, please tenangin diri kamu lebih dulu baru ngomong."

Gue beneran nggak tahan lagi. "Kamu belain dia?" tanya gue menggeleng kepala nggak percaya.

Dia tergelak sesaat. "Yang lebih aku takutin, kamu kena masalah karena ini. Bukan karena ngebela Adi." Nisrina langsung menghampiri gue. Memberikan pelukan hangat yang sangat gue butuhkan untuk menenangkan hati ini.

****

~ Senin, 05 Agustus 2024

Ada2 aja kelakuan Bapak-bapak satu ini...
Hmmmm 🤧

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang