Chapter 10. [B]

274 10 2
                                    

Nisrina POV

Pagi terberat yang harus aku jalani. Untuk bangun sangat sulit aku lakukan. Meksipun di luar kamar sudah terdengar aktivitas yang entah apa. Sepertinya Mas Fazwan sudah bersiap buat berangkat kerja. Ini masih setengah lima pagi. Tidak biasanya dia beraktivitas sepagi ini. Sementara aku hanya diam menatap jendela yang masih tertutup gorden.

Tidak tertarik untuk menyambut pagi ini. Bahkan aku langsung meraih ponsel. Menghubungi anak kantor atau siapapun untuk izin cuti. Setidaknya dua sampai tiga hari. Kalaupun tidak diizinkan sepertinya aku tidak peduli. Saat ini aku dihadapkan dalam posisi malas untuk melakukan aktivitas apapun. Rasanya memuakkan.

Aktivitas yang mungkin akan tetap aku lakukan hanyalah merawat tanaman kaktus yang sudah ditinggalkan oleh Mas Fazwan. Sejak kami bertengkar, dia berhenti mulai menyirami tanamannya sendiri. Berpikir kalau itu tidak lagi penting seperti yang dibicarakannya dulu. Di sana aku duduk sambil menghubungkan panggilan ke pengacara. Mengurus surat perceraian kami. Setelah selesai, segera aku hubungi Enzy, sahabat sekaligus teman curhatku. Aku belum menceritakan tentang sahabatku ini. Tapi dia yang paling tahu perkembangan hubunganku dengan Mas Fazwan untuk saat ini.

"Lo habis nangis ya? Serak banget suara lo," komentar Enzy. Aku rasa sekarang dia sedang membuka pintu flat-nya. Terdengar dari seberang sini.

Aku hanya balas dehaman, kemudian berkata, "Udah aku urus surat cerainya."

"Lo gila ya?" teriak Enzy. Sementara aku hanya senyum. Yang dikatakan Enzy sepertinya benar.

"Ya gue bisa apa Zy. Apapun udah gue lakukan. Gue juga udah gila menyerahkan tubuh gue gitu aja. Setelah itu ditinggalkan."

Kini gantian Enzy yang mendengus.

"Pak Alwi udah urus surat cerainya. Gue tinggal nunggu sama tanda tangan nanti. Katanya gue bisa nuntut harta gono gini. Tapi kayaknya enggak deh. Mas Fazwan ga kaya-kaya banget. Bakal rugi nggak sih ambil uang dari dia?" canda gue. Berusaha mencairkan suasana meskipun hati gue rasanya sakit banget.

"Emang keterlaluan ya Fazwan itu. Goblok banget jadi cowok. Ga jelas banget."

"Kok jadi lo sih yang marah?"

"Kemana dia sekarang?"

Aku tertawa. Sedikit terhibur dengan perkataan Enzy. "Kerja kayaknya."

"Lo sendiri?"

"Enggak lah. Kan lagi telponan ama lo," jawabku. "Ambil cuti. Tahun ini gue udah kebanyakan cuti banget jadi ya, bakal repot deh nanti akhir tahun."

"Bukan karena masalah ini kan?"

"Emang lagi pengen istirahat sih tepatnya."

Tidak ada bantahan. Selang beberapa detik kami saling diam.

"Lo nggak bakal nyesel kan Nis?" Enzy bertanya dengan nada pelan.

Aku tentu saja tidak langsung menjawab. Saat ini saja aku menyesal sudah menaruh hatiku, lalu mempercayai Mas Fazwan. Menyesal jelas apa yang sudah terlihat sekarang. Tergambar dari mata bengap dan juga suara serakku sekarang.

Perlahan, aku membuka suara, "Agak sedikit takut. Nggak akan semudah melupakan Ammar."

Enzy mendengarkan. Berhenti berkomentar.

Aku menghela napas. "Kayaknya gue emang nggak bisa punya hubungan serius sama cowok deh. Sulit banget buat serius." Aku terkekeh kemudian. "Dari yang diselingkuhin sampe dituduh selingkuh."

Selama ini aku memang cukup picik. Menerima pemberian Ammar tanpa minta pendapat Mas Fazwan lebih dahulu. Itu semata-mata karena aku terlalu percaya bahwa Mas Fazwan tidak akan semarah ini kalaupun dia tahu.

Aku lupa kalau Mas Fazwan juga punya harga diri sebagai laki-laki dan seorang suami.

Aku tidak menyalahkannya. Kalaupun di posisi itu, mungkin aku juga melakukan hal yang sama. Mungkin bahkan lebih murka dari Mas Fazwan sekarang.

"Emang lagian tuh Fazwan. Sok-sokan banget. Orang apa-apa masih minta lo. Masa' dia nggak sadar diri banget sih?"

Aku menunduk. Masih menempelkan ponsel di telinga. "Gue emang salah."

"Tapi seenggaknya denger penjelasan dulu."

Aku senyum. Terdengar suara pintu terbuka di belakangku. Mas Fazwan masuk dengan wajah terkejut. Mungkin dia pikir aku berangkat kerja, jadi dia bisa seenaknya masuk tanpa berpikir aku masih ada di dalam.

Mas Fazwan hanya menunduk. Melewatiku begitu saja. Sempat melirik tapi dia hanya diam. "Jersey aku dimana?" tanya Mas Fazwan. Aku hanya menunjuk almari bagian bawah. Setelah itu Mas Fazwan berlalu begitu saja. Gedek lihat dia.

"What? Siapa itu tadi?"

Aku lupa kalau panggilanku masih tersambung dengan Enzy.

"Siapa tadi yang ngomong ama lo?"

"Mas Faz."

"Nyapa lo?"

"Cuman nanya jersey doang."

Suara dengusan Enzy terdengar. "Emang berengsek ya tuh orang. Gini deh. Lo buang-buang jauh rasa sayang itu. Udah nggak ada lagi yang namanya sayang-sayangan. Mulai sekarang lo coba kenalan sama cowok lain yang lebih berguna dari Fazwan. Gue orang yang paling nggak setuju kalau lo masih punya rasa sayang ke Fazwan."

Keheningan mulai tercipta. Aku yang awalnya hanya pengen curhat ini itu ke Enzy kini mulai berpikir. Mungkin buat sekarang ini apa yang dikatakan Enzy benar. Akan lebih mudah kalau aku mulai meninggalkan rasa yang sudah dibuat nyaman oleh Mas Fazwan.

"Oke," jawabku pada akhirnya. Ada banyak keraguan. "Kayaknya ini yang terbaik."

Aku harusnya teguh dengan ucapanku sendiri dan aku harusnya tidak berdebat panjang dengan perasaan sendiri.

Tapi, kenapa aku malah ingin menangis sekarang?

****

~ Sabtu, 06 April 2024

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang