Chapter 12. [A]

214 9 9
                                    

Fazwan POV

Sidang mediasi kami tadi pagi nggak berjalan sesuai rencana. Nisrina nggak datang ke sidang kami. Yang membuat pengadilan akhirnya dijadwalkan ulang sesuai kesepakatan penasehat hukum. Sakit katanya. Tapi gue rasa itu cuman alasan. Nggak mungkin kan tiba-tiba sakit, orang semalam kelihatan baik-baik aja. Biar proses perceraian berjalan cepat sesuai apa yang dia mau. Gue rasa proses apapun Nisrina nggak bakal datang.

Semalam gue bilang ke Nisrina kalau gue udah punya pacar. Reaksinya cuma datar. Seneng kayaknya. Nggak gue harapkan dari dia. Padahal gue pengen dia menunjukkan kecemburuan seperti cewek pada umumnya. Ternyata benar, mencintai sendirian itu sangat menyakitkan.

Kalau kalian pikir gue nggak pernah memikirkan Nisrina kalian salah. Gue nggak berhenti mikirin dia. Gue bisa berdiri di lorong lantai unit Nisrina buat memastikan dia baik-baik saja. Sembunyi setiap kali Nisrina merasa diikuti. Gue cuman nggak mau jadi penguntit seperti yang dia pikirkan. Masih cinta itu benar, tapi kalau sampai dikata sebagai penguntit, gue nggak kayak gitu orangnya. Kalau Nisrina tahu, dia pasti ketakutan gue ikutin kayak gini. Bahkan semalam, gue memang sengaja muncul, yang itu memang bukan murni kebetulan.

Ya gue nggak mungkin bisa membiarkan Nisrina keluar malem-malam. Maaf kalau gue kelihatan plin plan banget bagi kalian. Ini yang gue rasakan selama ini. Keputusan menceraikan Nisrina seolah bukan kemauan gue. Yang gue mau Nisrina ada di samping gue. Menemani gue sampai tua nanti. Bukan malah meninggalkan gue kayak gini. Apalagi membayangkan dia nikah sama cowok lain suatu saat nanti. Gue rasa nggak bisa. Terlalu sulit buat gue. Hidup gue sudah berantakan setelah menggugat cerai Nisrina.

Iseng gue lewat lorong Nisrina. Berdiri di depan pintu unit apartemennya. Gue masih ingat keepass unitnya, dia pakai tanggal pernikahan kami. Gue rasa Nisrina nggak pernah menggantinya. Meskipun begitu tetap saja gue nggak berani sedikitpun buat menyentuhnya.

"Ngapain kamu di sini, Mas?"

Teguran itu bikin gue menoleh. Mendapati Nisrina berdiri tepat di belakang gue, membawa kantung plastik penuh dengan belanjaan dari minimarket gue rasa. Jantung gue berdebar cukup keras. Dia baik-baik saja. Yang artinya sidang tadi hanya alasan bagi Nisrina buat menghindari gue. Atau mempercepat proses persidangan karena salah satu pihak nggak datang.

"Mau ambil sesuatu," kata gue spontan. Bingung harus bilang apa kalau udah kepergok kayak gini.

Nisrina lebih dulu mendahului membuka pintu akses menggunakan keycard. "Nggak langsung ambil aja," katanya penuh dengan kesinisan.

"Bukan tempatku lagi."

Dia mengangguk setuju.

"Lupa," jawabnya. "Kamu cari deh."

Gue mengamati satu persatu sudut unit. Pengap. Jendela sepertinya nggak pernah terbuka. Sementara Nisrina sudah mendahului masuk kamar. Aku dengar kuncian pintunya.

"Nis!" panggil gue. "Sorry." Agak sedikit berteriak biar dia denger. Kemudian gue melanjutkan buat ke pantry. Membuka kulkas. Mencari tahu apa aja yang ada di sana.

Sejujurnya gue agak nggak nyangka waktu lihat isi kulkas. Kali ini penuh. Nggak ada skat kosong. Nyaris semua berisi buah-buahan yang masih segar. Ternyata Nisrina nggak cuek sama hidupnya.

Yang artinya dia lebih bahagia setelah gue pergi.

Padahal, dulu saat kami masih bersama, gue yang lebih memperhatikan isi kulkasnya.

"Udah ketemu kan barangnya, kalau udah, mending keluar deh." Nisrina tiba-tiba muncul mengejutkan gue yang masih mengamati isi kulkasnya. Mengambil buah pear di dalamnya.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang