Chapter 1. [D]

847 17 4
                                    

Fazwan POV

Weekend akan selalu menjadi jalan buat gue dan Nisrina bertemu. Dating dan ngobrol. Kayak sekarang. Ini udah jadi keharusan buat kami. Kalau dulu kami dipaksa jalan, dan sekarang lama-lama udah jadi kebiasaan. Udah ada keharusan sendiri. Sekarang nggak perlu dipaksa-paksa lagi. Apalagi nyokap, udah nggak memantau hubungan kami lagi. Mungkin beliau berpikir kalau hubungan kami udah pasti bakal berhasil.

Starbucks selalu menjadi tujuan kami. Salted caramel latte minuman favorit Nisrina. Dia nggak pernah bosan pesan menu yang sama. Sementara gue cuman pesan americano. Menurut gue kopi itu paling masuk akal buat diminum.

Setelahnya seperti biasa kami duduk di kursi tunggu mall. Mencicipi kopi masing-masing. Nisrina sempat mengulurkan caramel latte miliknya. Minta gue cicipi.

"Coba," katanya, Nisrina semakin mendekatkan sedotan ke arah gue.

Gue akhirnya mengikuti permintaannya. "Enak kok, kenapa?" tanya gue penasaran. Kembali mencicipi karena gue lihat Nisrina mulai menyipitkan mata.

"Rasanya aneh, ini nggak salah?" tanya Nisrina sebal sendiri. Gue nggak pernah coba caramel latte yang biasa dipesan Nisrina, menurut gue nggak ada yang aneh kok. Enak-enak saja. Meskipun menurut dia rasanya aneh banget.

"Seriusan? Mau aku tanyain ke orangnya?"

"Nggak usah. Masih bisa keminum kok."

Gue hanya diam setelahnya. Nisrina juga sama. Dia asik menikmati kopi yang katanya nggak enak di lidahnya. Pandangan kami juga nggak luput dari lalu lalang orang-orang yang asik belanja di mall. Yang seperti ini udah jadi rutinitas sendiri. Dan rasanya kalau nggak kayak gini ada aja yang kelihatan aneh.

Di posisi kayak gini gue bisa leluasa ngelihat wajah cantik Nisrina. Bagian yang paling gue suka adalah ketika memperhatikan lesung pipinya di jarak sedekat ini. Manis parah!

"Habis ini mau soto ayam nggak?"

"Soto daging aja."

Gue mengangguk. Menyesap kopi. Memperhatikan seorang cowok yang saat itu sedang jalan dengan ceweknya, memilih-milih topi. Gue sempat menyenggol lengan Nisrina agar dia juga lihat betapa romantisnya kedua pasangan itu. Seperti saling memahami satu sama lain. Bahkan si cewek nggak takut mengutarakan pendapat mana topi yang cocok untuk si cowok.

"Perhatian banget ya ceweknya," ucap gue spontan. Senyum waktu si cewek tertawa terbahak-bahak melihat si cowok memasang tampang aneh saat memakai topi berwarna pink. "Mau deh kayak gitu. Bantu aku cari barang yang cocok."

Nisrina berdecak. " Bentar lagi juga putus." Nada bicaranya terdengar sinis. "Yang kayak gitu nggak bakal awet."

Gue nggak bisa menyembunyikan raut kecewa. Bibir udah cemberut sesenti. "Banyak juga kok yang awet."

"Nanti juga bakal bosan setelah nikah."

Gue mencubit hidung Nisrina. Membuatnya mengeluh tertahan. Mata almond-nya melotot penuh dengan kemarahan. Gue hanya tertawa. Hidung Nisrina memerah. "Kamu tuh ya, emang kayak benci banget sama mereka," goda gue. "Mereka ambil apa sih dari kamu, Yang?" Nisrina balas mencebik nggak terima. Melengos menghindari tatapan gue. Hingga bikin gue gemas sendiri mencubiti lengannya. Bikin dia makin kesal, tentu saja makin cantik dan lucu.

"Cabut aja yuk," ajak Nisrina. Tangannya segera meraih pergelangan tangan gue. Beranjak dari sana. Gue cuman ngikuti aja. Apa mau Nisrina deh. Gue juga menawarkan buat bawakan caramel latte punya Nisrina. Siapa tahu dia risih harus nenteng-nenteng minuman. Namun Nisrina menolak, dia sempat melotot ke arah gue sebelum kembali melangkahkan kakinya.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang