EPILOG

228 8 6
                                    

Fazwan

Gue melepas kemeja, menyisakan kemeja putih yang gue gunakan di acara pernikahan Gizem. Semuanya selesai sesuai dengan rundown acara. Acara pernikahan Gizem diadakan di gedung serba guna dengan undangan membeludak. Capek banget. Nisrina aja belum selesai di luar. Lagi nemenin Gizem. Acara ini murni mau Gizem. Lengkap sudah tugas gue sebagai orang tua.

Hanya berharap hubungan Giz dan juga Adi baik-baik saja. Nggak ada yang musti dikeluhkan di antara keduanya. Gue sudah menyerahkan tanggung jawab Gizem ke Adi. Setelahnya terserah dia. Asal nggak terlalu berlebihan, gue nggak bakal ikut campur terlalu jauh. Urusan rumah tangga masing-masing.

"Dimana?" tanya gue begitu panggilan telepon tersambung ke Nisrina.

"Masih nemenin Giz ngelepas baju pengantin."

"Belum juga?" tanya gue. "Jangan lupa sama ajari dia cara melayani suami di ranjang," lanjut gue tertawa terbahak-bahak.

"Jijik tau Yahhhhhh," protes Giz di balik telepon. "Tau ah."

"Suami tuh harus dilayani memang, Sayang." Sambil tertawa gue menjawab Gizem. "Wajib hukumnya. Toh juga enak," ejek gue. Nggak banyak yang gue dengar, di seberang sana Gizem terdengar menggerutu di hadapan Mama-nya. Gue makin tertawa dibuatnya.

Panggilan telepon gue cuman diabaikan aja. Nisrina kayaknya juga masih sibuk ngurusin Gizem yang super ribet. Gue masih mendengar gerutuhannya.

"Sayang?" panggil gue. "Habis ini kalau kamu ke kamar, bawa kopi ya?"

Masih nggak ada tanggapan. Gue menyandarkan punggung di sudut ranjang. Kembali mengatakan lagi.

"Sayang?"

Gue kembali menegur Nisrina. Dia masih nggak menjawab sepata-katapun. Kayaknya memang lagi sibuk banget ngurus Gizem.

"Iya aku bawain," jawabnya.

Gue memutus sambungan telepon lebih dulu. Menyimpan ponsel di atas nakas. Menunggu Nisrina datang sambil tiduran nonton televisi. Selang sepuluh menit, Nisrina datang membawa satu botol kopi. Kayaknya sisa acara, dia masukkan ke dalam botol.

"Alhamdulillah semuanya udah selesai. Akad juga nggak ada halangan. Tadi aku sempet lihat-lihat foto keluarga. Hasilnya bagus banget, Mas."

"Aku juga bagus kan di foto?" tanya gue harap-harap cemas. "Biasanya kan aku yang paling jelek."

"Enggakkk, tadi aku lihat-lihat pada bagus-bagus kok," jawab Nisrina meyakinkan. "Mukanya jangan ditekuk gitu deh, Mas."

"Iyaaa, bikinin kopi deh, Yang," pintah gue. Kopi buatan Nisrina itu enak banget.

"Tinggal nuang itu, Mas," jawabnya malas-malasan. Mulai membersihkan sisa make up di mukanya.

Gue akhirnya berdiri menyiapkan kopi sendiri. Membiarkan Nisrina sibuk membersihkan make up di wajahnya. Gue juga menawarkan tapi dia nolak. Katanya pengen coklat panas aja. Ya udah, jadi gue nyiapin buat diri sendiri. Kalau dia mau coklat ya bikin sendiri. Gue nggak terlalu bisa bikin coklat panas sesuai apa yang Nisrina mau.

"Rencananya mereka bakal pulang kemana?" tanya gue. Kayaknya anak-anak juga belum kepikiran soal rumah. Uang mereka habis dulu buat acara resepsi pernikahan mereka.

"Berhenti over protective. Mereka itu udah gede. Harusnya udah bisa atasi masalahnya sendiri. Termasuk urusan rumah. Mana mungkin sih Adi biarin anak kita tinggal di kolong jembatan."

Ya maksud gue nggak gitu. Adi memang punya pekerjaan mapan. Dia nggak bakal pelit juga ke Gizem. Tapi mengingat uang mereka habis untuk acara resepsi, gue jelas nggak bisa tenang sama sekali. Itu nggak dipahami oleh Nisrina.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang