Chapter 12. [B]

206 7 4
                                    

Fazwan POV

Berdamai dengan masa lalu. Mungkin itu yang sekarang lebih cocok tentang hubungan gue sama Nisrina. Banyak hal yang berubah sejak dia mengaku hamil. Perceraian kami akhirnya dibatalkan atau mungkin ditunda, apapun itu namanya. Atas permintaan kedua orang tua. Gue sengaja menggunakan orang tua buat bantu gue baikan lagi sama Nisrina. Mereka berhasil membujuk Nisrina yang awalnya kekeh minta cerai. Mungkin terdengar agak sedikit memaksa Nisrina buat bertahan. Tapi gue sendiri yakin kok kalau hubungan kami memang layak dipertahankan. Nisrina masih cinta gue dan sebaliknya.

Tanaman kaktus yang kita rawat atas dasar komitmen ternyata masih hidup. Nisrina yang awalnya nggak pernah mau disuruh ngerawat tanaman ternyata sampai sekarang masih merawatnya. Nggak ada kerusakan apapun. Itu artinya seperti yang gue bilang, kaktus itu sebagai tanda hubungan kami. Tanpa sadar Nisrina menjaganya. Gue cukup terharu.

"Habis ini aku mau keluar," kata Nisrina. Bikin gue mendongak mengalihkan pandangan ke arahnya. Nisrina sendiri memasang tampang datar.

"Kemana?" tanya gue penasaran.

"Dokter Obgyn."

"Ada masalah sama kandungannya?" tanya gue khawatir sendiri. "Kita berangkat bareng ya biar kalau ada apa-apa nggak kesusahan."

Nisrina hanya berlalu begitu saja. Masuk ke kamarnya lagi. Meninggalkan gue yang masih kebingungan.

"Sayang? Kok gitu sih?" tanya gue.

"Kalau mau ikut kamu siap-siap aja."

"Gini aja gapapa." Penampilan gue masih kelihatan cakep meskipun cuma pakai celana pendek dan atasan kaos hitam polos. "Tinggal nunggu kamu aja."

Sejak kita seunit lagi. Hubungan kami masih sedikit lebih kaku. Nisrina juga lebih sering membatasi diri, kadang mengurung diri di kamar. Sementara gue masih lebih sering tidur di sofa. Ruang tamu itu batas gerak gue. Sisanya milik Nisrina.

Nggak nunggu lama sampai gue ngelihat lagi Nisrina keluar dengan pakaian yang lebih rapih.

Sepanjang perjalanan, Nisrina nggak banyak ngomong. Hanya mengeluarkan kata untuk menunjukkan arah jalan ke klinik bersalin. Gue juga malas kalau harus banyak drama. Jadi milih diem juga. Percuma kalau banyak omong tapi nggak direspon sama sekali, ujungnya bertengkar. Untung jarak apartemen dengan klinik nggak terlalu jauh.

Nisrina lebih dulu turun sesampainya di sana. "Tunggu di sini aja kalau nggak mau nunggu lama."

Gue menggeleng. Jelas nggak mau.

"Mau aku beliin camilan nggak biar nggak bosen nunggunya."

"Nggak usah," jawab Nisrina bernada datar. "Kamu aja kalau mau."

"Ya udah nggak perlu kalau gitu."

Setelah mengisi form pendaftaran, Nisrina mengajak gue duduk di kursi tunggu, disebelah ibu-ibu yang usia kandungannya sudah cukup tua. Gue melirik ke perut rata Nisrina. Masih belum terlalu kelihatan. Bikin gue membayangkan Nisrina dengan berat badan bertambah.

"Udah berapa kali ke sini?"

"Dua kali."

Gue mengangguk. Mengamati lalu lalang calon pasien. Lucu juga ternyata ngelihat orang hamil. Membayangkan Nisrina di kondisi seperti itu bikin gue senyum. Bahkan di seberang kami, ada bumil yang kelihatan manja banget sama suaminya. Gue yang memperhatikan cuman bisa senyum. Andai aja Nisrina kayak gitu. Jangankan hamil, di kondisi normal aja rasanya jarang banget. Bikin iri tahu nggak sih orang-orang ini.

"Punya orang-orang udah pada kelihatan ya?"

"Iya, kenapa?" tanya Nisrina mengerutkan kening.

"Gapapa. Lucu aja lihatnya."

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang