Fazwan POV
Kalau ada yang bilang waktu cepat bergerak, gue rasa dia benar. Nggak nyangka aja kini gue lihat Gizem sudah semakin besar. Kemarin masih bisa gue gendong. Sekarang sudah menjadi gadis remaja yang mengenakan seragam putih abu-abu. Pemandangan yang setiap pagi gue lihat. Makin ke sini gue lihat Gizem nyaris mirip dengan Mama-nya. Gue sampai geleng-geleng kepala sendiri. Caranya senyum sampai bicara hampir sama, bedanya, Gizem nggak sejutek Nisrina. Dia lebih ramah mungkin secara sifat, beneran mirip gue, orangnya ramah. Hahahah... Sedikit pede juga nggak papa ya kan?
"Yah?" panggil Gizem. "Nanti nggak perlu jemput ya. Aku pulang sama temenku."
Nggak usah tanya gimana perasaan gue sekarang. Jujur, mendengar perkataan Gizem, dada gue berdebar cukup kencang. Rupanya ini yang namanya perasaan seorang Ayah ketika nggak dibutuhkan lagi sama putrinya. Gue bahkan hampir tersedak mendengarnya. Ini pertama kalinya juga Gizem nggak mau gue jemput. Biasanya gue nggak pernah absen jemput dia, mulai masih duduk di bangku Playground. Jadi, jelas sekarang gue pengen tahu dia pulang sama siapa.
"Pulang sama Adi?" tebak gue. Aditya, atau biasa kami panggil Adi itu tetangga sebelah kani. Baik Adi dan Gizem sudah bersahabat sejak mereka masih sama-sama digendong.
Gizem menggeleng.
"Adi naik sepeda Yah, gowes dia tuh."
Gue merespon agak sedikit lebih lama.
"Kamu ini pulang sama temen cewek atau temen cowok?" tanya gue semakin dibuat penasaran. "Kalau temen cowok, Ayah nggak ngizinin."
"Kok Ayah jadi double standard gini sih?" eluh Gizem. Yang artinya yang dimaksud dia adalah temen cowok. Terbukti protes. "Sama Adi boleh, masa' yang bukan Adi nggak boleh."
Ini yang paling gue benci. Anak ini mulai berani protes ini itu. "Ya kan Ayah nggak tahu betul siapa yang nganter kamu pulang nanti. Cowok atau cewek. Dia punya tanggung jawab atau nggak. Kan Ayah nggak tahu. Belum kenal betul, Nak."
Bibir Gizem mulai cemberut. Dia menoleh ke arah Nisrina buat meminta pertolongan. Namun urung, dia tahu kalau Nisrina juga nggak akan mengizinkannya. Heran, hanya dengan tatapan mata, Gizem sudah tahu kalau Ibunya itu nggak bakal ngizinin. Beda kalau sama gue. Harus berdebat dulu.
"Capek dijemput Ayah terus kayak anak kecil," protes Gizem. "Yang lain pada berangkat sendiri. Naik mobil sendiri, naik motor sendiri," ocehnya. Setiap kata penuh dengan penekanan. "Ayah tanya Adi sendiri kalau nggak percaya." Adi, anak tetangga sebelah juga sering naik motor atau sepeda sendiri kalau berangkat ke sekolah. Tapi dia anak cowok. Orang tuanya juga sama-sama kerja di luar kota. Mana ada yang bisa nganter Adi sekolah.
Protes dari Gizem nggak pernah terdengar semenyakitkan ini di telinga gue.
"Ayah harus gimana?"
"Ya nggak tau, Yah."
"Mau Ayah izinin berangkat sendiri? Pakai mobil? Pakai motor?"
"Ya kalau Ayah kasih izin."
"Kamu belum tujuh belas tahun."
"Yang lain juga banyak yang belum tujuh belas tahun bawa motor sendiri."
"Banyak juga yang diberhentiin polisi karena itu."
"Pokoknya nanti aku pulang sama temen. Ayah nggak perlu jemput!"
"Nanti Ayah jemput sesuai jam pulang." Gue nggak mau kecolongan sebagai orang tua.
"Awas aja!" Gizem sudah memberikan ancaman lebih dulu. Bikin gue mendengus.
Nisrina yang tadi diam saja mulai membuka suara. "Yang sopan kalau bicara sama orang tua!" Dia kayak nggak nyaman mendengar protesan Gizem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...