Chapter 17. [C]

89 4 2
                                    

Ada selipan Gizem POV di chapter sebelumnya. Kemungkinan besar nanti aku akan membuat satu cerita khusus buat Gizem. Jadi aku selipkan hanya dua bab saja. Sekarang kembali ke topiknya.

Nisrina POV

Sudah dua hari ini Mas Fazwan uring-uringan tidak jelas, bersamaan dengan sakitnya Gizem. Setiap pagi dia tidak berhenti untuk memasang tampang bete. Yap, dua hari ini Gizem demam. Suhu tubuhnya cukup tinggi, tidak turun dari kemarin. Itu kenapa Mas Fazwan uring-uringan seperti setrika panas. Bahkan dia sempat mengatakan untuk izin tidak mengajar untuk menemani Gizem. Aku tidak melarangnya, tapi sepertinya dia juga sibuk dengan urusan sekolah.

"Gizem jangan lupa ditawari makan, dari kemarin dia belum makan sama sekali."

Aku mengangguk. Menyalami tangan Mas Fazwan.

"Kalau nggak mau, paksa aja dianya."

Aku hanya bisa mengangguk. Menepuk dada Mas Fazwan pelan. "Dia tuh lagi patah hati. Entar juga makan," godaku.

Ekspresi Mas Fazwan kembali menjadi sangat jutek. "Ada ya yang bisa nolak anak kita. Berani banget dia."

"Udah, kamu berangkat aja dulu," jawabku. Mendorong Mas Fazwan keluar. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Setelah itu aku pergi ke kamar Gizem. Melihat kondisinya. Udah agak mendingan. Anak itu udah mulai bisa duduk dan juga baca buku. Kebiasaan yang sering dipaksakan kalau lagi sakit. Mungkin juga sudah kebiasaan, jadi melarangnya juga percuma saja. Jendela kamarnya masih tertutup rapat. Hampir tidak ada sinar mentari yang masuk. Patah hati ternyata bisa mempengaruhi anak ini.

Sambil membuka jendela, aku menawarkan sarapan buat Gizem. Yang dijawab hanya dengan gelengan kepala. Matanya bahkan fokus menatap buku di depannya. "Kamu kalau sakit jangan banyak belajar dulu. Fokus buat recovery."

"Iya."

"Cuman jawab 'iya' doang tapi nggak dilakukan?"

"Iya, Mah," jawabnya malas-malasan. "Ini lagi nanggung banget."

Aku duduk di ujung ranjang Gizem. Memperhatikannya. "Mama tuh pengen marah sama kamu."

Gizem menutup bukunya. Ganti menatapku. Wajah pucatnya memang masih terlihat. Tapi tidak seperti kemarin yang benar-benar seperti mayat hidup. Aku tidak tahu kenapa anak sekarang cemen banget, baru mendapatkan cobaan kisah cintanya gagal. Udah sakit saja. Bayangkan saja kalau yang dihadapi setiap hari seperti Mas Fazwan. Sakit kepalanya bisa berkali-kali.

"Gigit termometer-nya," kataku. "Habis ini kamu makan dulu."

"Nggak laper, Mah," jawab Gizem hendak membantah. Aku paling tidak suka dibantah seperti ini.

Tanpa banyak bicara aku menyiapkan bubur ayam untuk Gizem. Saat sedang sibuk di dapur. Aku dikejutkan dengan teguran Adi. Anak itu juga absen. Membawa kantung plastik dari salah satu toko roti terkenal. Tersenyum cukup lebar sebelum menyalamiku.

"Sekolah kamu libur?" tanyaku dengan nada menyindir. Adi ini hanya meringis. Menggaruk kepalanya. "Ikut-ikutan Giz nggak mau sekolah?". Pada akhirnya dia mengangguk. Sama seperti Gizem, Adi ini salah satu murid terbaik di sekolah. Soal kepintaran, jangan pernah ragukan dia.

"Giz masih sakit ya Tante?" tanyanya. Aku sebagai orang tua Gizem dan cukup tahu bagaimana cara cowok memandang wanita. Hanya dengan melihat sikap Adi, aku tahu kalau dia punya ketertarikan kepada Gizem.

"Udah agak mendingan."

Dia mengangguk. "Boleh nggak Tante?" katanya sambil memberikan kode untuk pergi ke kamar Gizem.

Meskipun hubungan Gizem sama Adi cukup dekat, sejak mereka berteman aku tidak pernah membiarkan Adi masuk ke kamar Gizem. Begitu pula sebaliknya, aku selalu mewanti-wanti Gizem untuk tidak lancang masuk ke kamar cowok.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang