Nisrina POV
Mataku berkaca ketika memperhatikan putri mungil kami tanpa terhalang apapun. Tatapannya terlihat sangat bersinar. Senyumnya indah. Tidak pernah rewel. Benar kecil Mas Fazwan, putri kecil kami seolah tidak memiliki hobi menangis. Sangat jarang aku dengar dia menangis. Kecuali kalau sedang lapar dan pampers-nya penuh. Sisanya dia hanya sibuk bergelung sana sini dengan menggigit jari jempolnya. Rasa lega terasa melihat Gizem baik-baik saja.
"Hai," sapa Mas Fazwan ke Gizem. "Mama nggak jahat kan sama kamu?" katanya. Membuatku langsung memukul keras lengan Mas Fazwan. "Awww," eluhnya. "Nggak baik di depan anak kecil, Sayang. Nanti dicontoh tau nggak." Gizem hanya tersenyum melihatku sama Mas Fazwan bertengkar. Membuatku tidak sadar ikut menyunggingkan senyum manis.
"Gizem masih kecil ya, jangan merasa yang paling tersakiti." Aku meninggalkan Mas Fazwan yang sibuk dengan Gizem. Menuju sofa ruang tamu. Membuka saluran televisi, lalu memejamkan mata. Jujur saja aku butuh waktu untuk istirahat. Capek rasanya mengurus bayi meskipun Gizem bukan tipe anak yang nyebelin.
Tidak lama Mas Fazwan ikut duduk di sampingku sambil menggendong Gizem. Daripada aku, dia terlihat sangat lihai. Tidak takut sama sekali meskipun gendongnya kadang terlihat asal-asalan. Sok keren padahal tidak sama sekali. Kadang aku memprotes caranya menggendong. Agak sedikit ceroboh untuk ukuran manusia yang baru saja memiliki anak. Membuatku kesal kadang-kadang.
"Kalau gendong bayi itu jangan pake tangan satu gitu ah," protesku. Tidak dihiraukan sama Mas Fazwan. Dia malah senyum-senyum tidak jelas. Menggoda Gizem. "Mas? Kamu denger nggak sih?" bentakku. Dia kemudian menoleh. "Siniin nggak Gizem. Kamu tuh ya emang ceroboh jadi orang. Mentang-mentang punya bisep besar. Gendong anak sesukanya." Aku beneran capek. Rasanya pengen ngomel terus begitu mendapati Mas Fazwan kembali dalam mode menyebalkan seperti ini.
"Gapapa ini, Sayang. Gizem buktinya anteng-anteng aja kok." Mas Fazwan menunjukkan muka lucu Gizem. Membuatku tanpa sadar ikut memperhatikan muka tulus Mas Fazwan.
Sejujurnya jauh di dalam lubuk hatiku. Aku masih memikirkan rencana perceraian kami. Semua masih aku cerna. Mencoba memikirkan lagi apa kisah kita akan selesai atau tidak.
Aku teringat percakapan Mas Fazwan beberapa hari lalu, waktu kami tidur bertiga di ranjang yang sama, bersama Gizem. Dia bilang kalau momen ini sangat dinantikannya. Punya keluarga sederhana penuh cinta. Katanya aku sudah memenuhi mimpinya melalui Gizem.
Aku masih memperhatikan Mas Fazwan. Sukses membuatnya ge-er. "Aku cakep kan, sayang?"
Aku memasang tampang bete. Kalau urusan cakep. Tidak ada yang kurang dari Mas Fazwan. Dia pandai menjaga tubuh. Itu yang aku suka. Di saat orang-orang seusianya penuh dengan lemak di perut, Mas Fazwan malah masih terlihat muda. Buncit sedikit saja dia sudah pasti uring-uringan tidak jelas. Minusnya dia pernah menamparku sekali.
"Habis ini kita ngobrol sebentar boleh?" tanyaku. Tanpa ba bi bu Mas Fazwan mengangguk. Dia tidak keberatan sama sekali. "Kalau Gizem udah tidur aku tunggu di balkon. Bentaran aja. Nggak lama kok." Aku berusaha tenang. Rupanya tidak untuk Mas Fazwan. Wajahnya bias cemas. Mungkin dia sudah tahu arah pembicaraan kami kemana nanti. Sementara aku lebih dulu duduk di balkon. Palingan bentar lagi Gizem juga sudah tidur.
Aku menutup pintu balkon yang menghubungkan dengan kamar kami. Duduk di sana. Memperhatikan bunga kaktus yang mulai layu. Sejak aku di rumah sakit, kaktus ini sepertinya tidak dirawat dengan baik. Mas Fazwan sibuk denganku, sementara aku tidak berdaya hanya untuk mengurusi tanaman semacam kaktus.
"Udah tidur dianya. Kamu mau ngobrolin apa?" tanya Mas Fazwan. Menarik kursi lalu duduk menghadapku.
Aku menghela napas. "Aku udah mau ngobrolin ini jauh-jauh hari sesudah Gizem lahiran." Aku diam sesaat. Mas Fazwan menunduk. "Udah saatnya kita juga serius soal masa depan kita masing-masing. Soal Gizem dan semuanya. Aku mau diselesaikan sekarang, Mas."
Mas Fazwan hanya bisa mengangguk. Seolah menerima keputusan apapun yang akan aku buat nanti. Dia sepertinya juga sudah capek. "Ya udah kamu maunya gimana?" tanya Mas Fazwan mengiris hatiku. Dia rupanya juga sudah menyerah. Tidak ada sekecil keinginan Mas Fazwan untuk menaganku. "Aku padahal sudah seneng banget kita bisa sama-sama lagi. Ternyata emang nggak bisa."
Tuh kan, air mataku jatuh. Dia memang tidak punya niat untuk memperbaiki segalanya. Kalau cerai memang keputusan yang baik untuk kita, sepertinya hari ini akan benar-benar terjadi.
"Gimana sama Mama?" tanyaku. Dulu yang meminta kita mengurungkan perceraian itu Mama Mas Fazwan. "Udah bicara sama Mama?"
Dia mengangguk pelan. "Udah."
Suara tangis Gizem terdengar. Baik aku sama Mas Fazwan tergopoh menghampirinya. Anak itu baru diam ketika berada di gendongan Mas Fazwan. Membuatku tercengang.
"Kamu udah dapat kerja, Mas?"
"Belum," jawabnya sambil mengayun-ayun Gizem. "Masalah kerjaan nanti gampang. Biar dicarikan Dio."
"Mau aku bantuin?" tawarku. Aku punya kenalan orang sekolah. Siapa tahu mau bantu Mas Fazwan. "Sekolah internasional kalau kamu mau."
Mas Fazwan menatapku sesaat. Sebelum kembali memperhatikan Gizem. "Nanti aja deh. Gapapa."
Aku diam sesaat. "Sekolah lama kamu emangnya nggak lagi butuh guru olahraga ya?" tanyaku. Penasaran.
Mas Fazwan menoleh. "Ya mana mau sih sayang nerima mantan guru yang mengundurkan diri dari sekolah demi pekerjaan yang lebih enak?"
Iya juga ya. Sulit juga kalau begitu. "Kalau kerjaan yang kemarin? Udah nggak mau lagi ya karena kamu risen?" Pertanyaan bodoh yang membuat Mas Fazwan enggan menjawab.
"Nanti deh," katanya. "Nanti pasti dapat. Kalau nggak aku bakal terima tawaran jadi kurir aja."
Aku akhirnya diam saja. Pekerjaan memang banyak. Tapi menjadi kurir paket bukan sesuatu yang membanggakan tentu saja, apalagi dengan background pendidikan keluarga Mas Fazwan.
"Aku dapat panggilan kerja di Australia. Kerja di kantor berita di sana. Agak sedikit sulit sih sebenarnya. Karna sebelumnya aku sama sekali nggak punya background nulis artikel berita. Nanti di sana rencananya juga mau cari kerjaan yang cocok. Paling nggak ngirim-ngirim naskah dulu ke agensi penulisan di sana," kataku.
"Gizem ikut kamu?"
Aku mengangguk. "Iya kalau bisa," jawabku. "Masih belum tahu sistem kerja di sana sih. Lebih tepatnya takut beda sama yang di sini. Gak berani bawa Gizem dulu."
Mas Fazwan mengangguk mengerti.
Aku bersuara lagi kemudian, "Kalau memang sulit kayaknya aku mau bawa mbak-mbak buat jagain Gizem. Ikut ke sana juga."
Sebagai tanggapan, Mas Fazwan beberapa kali mengecup pipi Gizem. "Maafin Ayah ya Sayang. Maaf." Hanya kata itu yang lirih terdengar. Meninggalkanku yang masih berdiri di sana. "Kita ngobrolnya nanti aja ya, aku mau nidurin Gizem dulu. Ajak dia jalan-jalan ke bawah bentaran doang."
Tanpa mendengar persetujuanku, Mas Fazwan lebih dulu melesat meninggalkanku di dalam apartemen sendirian.
****
~ Sabtu, 15 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
Literatura Feminina21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...