Chapter 15 [A]

164 8 1
                                    

Nisrina POV

Sometimes going home is not option, but a mandatory. Itu kenapa aku memilih untuk mempertahankan pernikahan ini. Bukan hanya karena aku mencintainya, tapi aku percaya dengan hubungan ini. Aku juga mulai memperbaiki hubunganku dengan Mas Fazwan. Sebisa mungkin aku mulai terbuka. Meminimalisir setiap kesalahapahaman yang mungkin saja muncul.

Seperti sekarang saja. Sejak kami berada di Paris. Muka masam Mas Fazwan terus saja diperlihatkan. Aku tidak tahu kenapa dia harus cemburu kepada Ray. Sudah aku jelaskan sebelumnya kalau Ray itu homoseksual, tapi rasanya dia tidak pernah percaya dengan perkataanku. Itu kenapa aku memilih diam sekarang. Enggan menjelaskan apapun kecuali nanti kalau dia mulai kelewatan. Pagi ini, dia kelihatan makin cemberut sejak Ray menelponku untuk memastikan aku datang ke meeting nanti siang.

"Mas? Turun bentar yuk, sarapan." Aku lihat Mas Fazwan hanya duduk sambil mengganti-ganti channel tv yang bahasanya pun tidak dia mengerti. Kemudian berhenti di saluran cartoon. Persis anak kecil yang lagi ngambek. Dia menunjukkannya terlalu berlebihan malah membuatku semakin bersemangat untuk menggodanya. "Kalau kamu nggak mau aku ajak Ray aja. Daripada sendirian." Mas Fazwan buru-buru menoleh. "Mau nggak kamu? Kalau nggak mau aku telpon Ray loh. Ini beneran bukan ancaman." Aku mematut diri di depan cermin. Memastikan tidak ada yang kurang dari penampilanku. Ketika semuanya pas, tidak ada yang berlebihan, aku menarik jas di dalam lemari. Memberikan itu untuk Mas Fazwan.

Dengan sangat terpaksa Mas Fazwan menurutinya. Memakai jas seperti yang aku minta. Aku menarik sudut bibirnya dengan cubitan agar dia tersenyum. Tapi gagal, Mas Fazwan lebih suka terlihat cemberut dan bermuka datar daripada banyak senyum.

"Kalau kamu cemberut gitu mending ga usah." Aku berusaha tidak membuatnya bete.

Namun Mas Fazwan malah menarik tanganku untuk turun. Mencicipi masakan hotel sambil memasang tampang seperti itu. Orang-orang pasti berpikirnya kalau kita lagi bertengkar. Meskipun begitu Mas Fazwan malah terlihat semakin tampan. Dia hanya mengambil roti dan potongan sosis. Sementara aku memilih salad. Lalu duduk di meja paling pojok, di tempat yang sedikit tidak terlihat dari lobi hotel. Sengaja memilih tempat itu biar tidak terlihat teman-temanku yang lain. Tentu saja Mas Fazwan tetap tidak nyaman kalau semisal Ray atau temenku yang lain ikut bergabung.

Aku berdeham untuk memecah kebisuan. "Hmm... Seriusan masih marah?" tanyaku.

Mas Fazwan menggeleng. Menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Memperhatikanku dengan sangat cermat. "Enggak."

"Bohong banget."

"Merasa nggak berguna aja jadi cowok. Lainnya punya kerjaan bagus. Aku nggak ada apa-apanya. Termasuk kalau dibandingkan sama Ray. Siapa yang nggak takut coba kamu ninggalin aku. Kerjaan mereka jauh lebih oke dibanding kerjaanku." Kalimat itu keluar dari mulut Mas Fazwan. Membuatku menggeleng tidak percaya.

"Tetep aja ya kamu," kataku.

Mas Fazwan cuma menunduk. Rasa insecure di dalam dirinya masih sama seperti dulu. Padahal sudah beberapa kali aku tegaskan kalau yang aku pilih cuma dia. Tidak ada yang lain.

"Ngapain sih kamu mikirnya kayak gitu?" tanyaku keheranan sendiri.

Bukannya menjawab, Mas Fazwan hanya menunduk. Fokus menyantap makanan di piringnya. Sementara aku sendiri benar-benar ingin tahu kenapa dia mikirnya seperti itu. Padahal untuk meninggalkannya saja tidak terpikirkan. Apalagi dengan beban satu anak. Aku lebih suka menyelesaikan permasalahan dengan obrolan daripada perceraian. Dia juga harusnya belajar dari pengalaman tiga tahun yang lalu. Bukan malah ngambek tidak jelas seperti ini. Sangat menyebalkan.

Dari jauh aku lihat Ray duduk sendirian di meja paling depan. Sebisa mungkin aku tidak menyapa. Aku hanya tidak ingin memperumit masalah dengan Mas Fazwan. Dia akan semakin marah kalau aku menyapa Ray. Kemungkinan kalau di sapa, Ray juga akan bergabung dengan kami.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang