Fazwan POV
Sambil tersenyum setelah mendapatkan balasan chat dari Nisrina, gue langsung buru-buru merapikan kemeja. Mematut diri di depan cermin full body, memastikan nggak ada yang kelewat dari penampilan gue kali ini. Setelah itu mengambil pomade, menyisir rambut dengan jari. Setelah semuanya gue rasa pas, gue langsung menyambar kunci. Bergegas turun meninggalkan kamar.
"Jadi nge-date?"
Teguran itu otomatis menghentikan langkah gue. Balas senyum ke Mama yang masih sibuk di pantry sambil mengotak atik laptop. Kebetulan tangga kamarku lewat pantry dan Mama selalu di sana sepulang kerja. Nggak ada habisnya kerja. Jadi gue balas senyum. Pamit ke beliau agar semuanya dimudahkan. Ini berkat Mama dan sudah seharusnya gue minta doa setiap kali dating kayak gini.
"Minta doa-nya ya Mah, moga dipermudah." Gue menyeringai. Mengecup kening Mama sebelum pergi.
Mama menepuk pipi gue, menatap gue dengan mata berbinar. "Ini cewek yang sama kan?" tanyanya. Aku balas mengangguk.
Siapa lagi coba', gue bukan orang yang mudah buat kenalan sama cewek. Kalau bukan cewek yang secara khusus dikenalkan Mama, lalu siapa lagi?
"Iyalah Mah, siapa lagi coba'. Emangnya anak Mama ini suka main cewek?" jawab gue. Mama juga pastilah yang paling tahu tentang hubunganku dengan cewek nggak semulus seperti kebanyakan pria lain. Keberanian gue menghadapi cewek bisa dibilang dibawah rata-rata. Itu kenapa gue nggak pernah bisa lepas dari status jomblo. Bahkan gue sendiri nggak pernah tau pernah pacaran atau nggak. Rasanya nggak pernah.
Mama ikut senyum karena jawaban gue. "Ya udah jaga baik-baik kepercayaan Mama ya, jangan main-main. Kalo pulang jangan malam-malam. Kasihan nanti dianya."
Gue ngangguk mengerti. Nggak banyak ngobrol lagi gue langsung keluar rumah. Berpapasan dengan Ayah yang kayaknya baru saja mindahin mobil ke garasi. Gue sempat nyapa bokap. "Mau kemana?" tanya-nya waktu itu.
"Ngedate."
Bokap cuma senyum. Menepuk punggung gue sebagai balasan. "Anak orang jangan dibuat main-main. Kalau serius langsung aja. Minta dari orang tuanya." Dibilang kayak gitu, gue otomatis nyengir. Bukan nggak mau, tapi kayaknya Nisrina juga butuh waktu buat kenal lebih jauh. Meskipun sekarang sudah menginjak tiga bulan setelah kami kenalan.
"Belum, Yah. Ini aja rasanya masih sulit banget diajak ngobrol sama ketemuan. Belum lah. Nanti, kasih waktu buat dia-nya."
Setelah itu gue buru-buru keluar rumah. Beruntung mobil Ayah udah dipindahkan ke garasi, jadi dengan leluasa bisa cepet-cepet keluarin brio satya putih kesayangan gue. Tanpa harus meredam seluruh emosi yang kemungkinan muncul andai mobil Ayah parkir di belakang mobil gue.
Baru masuk ke ke dalam mobil, ponsel gue bunyi. Telpon masuk dari Nisrina. Gue senyum. Dia jarang nelpon lebih dulu kalau emang nggak lagi penting banget.
"Iya, Yang?"
Terdengar dengusan di seberang sana. Bikin gue senyum sendiri. "Aku udah di sini. Jangan lama-lama."
"Iya tunggu ya bentar doang," jawab gue. "Ini aku masih di jalan. Jangan kemana-mana dulu, tunggu ya."
"Kalau lama aku pulang aja."
Itu bukan sekedar ancaman. Gue tahu kalau Nisrina bakal membatalkan dating ini. Buat dia gue mungkin nggak sepenting itu.
Gue beruntung restoran tempat kami janjian nggak jauh dari kompleks perumahan. Hanya berjarak sekitar satu kilometer. Paling lama setengah jam buat sampai di sana. Gue lihat Nisrina duduk sambil main ponsel. Tempat duduk yang nggak jauh dari pintu masuk. Bisa gue lihat dari dalam mobil. Bibirnya terlihat setengah cemberut dari sini. Senyum gue makin lebar dibuatnya.
"Udah lama banget ya nunggu?" goda gue begitu berdiri di sampingnya. Nisrina mendongak natap gue. Setelah ambil kursi di sampingnya, gue membuka buku menu. "Belum pesan apa-apa?" tanya gue. Bukannya menjawab Nisrina malah memeluk gue. Diikuti oleh isakan setelahnya. Gue jadi bingung, kemudian mengusuk pelan kepalanya.
"Kenapa?" tanya gue. Berusaha menenangkan cewek nangis ternyata sulit banget. Sekaligus bingung sendiri musti ngapain.
"Temenin aku bentar aja," pintahnya tanpa menceritakan apapun. Pelukannya semakin erat. Gue sendiri berusaha buat rileks biar dia nyaman. Nggak peduli beberapa orang mengarahkan perhatiannya kepada kami. Yang penting Nisrina baik-baik aja.
Pelan-pelan gue mencoba melepaskan pelukan Nisrina. "Udah ya nangisnya, ga enak dilihatin orang-orang." Gue menepuk sekalian mengusuk pelan punggung Nisrina mencoba menenangkan. "Mau cerita nggak?"
Nisrina menunjukkan kartu undangan. Membuatku diam sejenak. Nama Chelsea dan Ammar tercetak di sana. Nisrina udah pernah cerita sebelumnya tentang Ammar. Dia nggak pernah merahasiakan apapun. Termasuk cintanya yang amat besar ke Ammar.
Gue mendengus pelan. Meraupi wajah dengan telapak tangan. Bingung musti merespon apa. "Nggak usah lagi mikirin ini. Yang penting kamu sekarang," ujar gue. "Jangan mikirin yang lain-lain ya."
"Aku harus gimana?" Pertanyaan itu sedikit menyentak hati gue. Ada perasaan sakit. Cowok itu jelas bodoh udah ninggalin Nisrina. Hal yang nggak mungkin bisa gue lakukan andai diberi kesempatan seperti itu. Gue nggak bisa lihat dia sesedih ini. Bahkan buat sekarang.
"Ada aku di sini, Yang. Kamu nggak harus merasa sendiri."
Dari gerakan kepalanya. Nisrina mengangguk. Lalu menghapus air matanya cukup pelan. Bikin gue mau nggak mau mencoba memahami rasa sakitnya. Gue tahu kehadiran gue nggak bisa merubah apapun. Termasuk menggantikan posisi Ammar. Tapi gue tetap bertekat selalu ada buat dia.
Cinta yang Nisrina berikan mungkin saja nggak sama. Meskipun begitu gue yakin cinta itu pada akhirnya bakal muncul bersandingan dengan waktu.
Apapun itu bakal gue lakukan buat dia. Itu yang bakal gue janjikan.
****
~ Sabtu, 16 Desember 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...