Nisrina POV
Aku membuka pintu kamar, duduk di balkon. Sambil menyesap kopi. Membiarkan Mas Fazwan dan Gizem bermain di dalam. Aku hanya butuh waktu menyendiri untuk saat ini. Mencoba mencerna setiap energi yang memenuhi isi kepalaku. Memikirkan setiap pola masa depan yang akan aku alami selanjutnya. Ini benar-benar menguras energi. Kepalaku rasanya ingin pecah dibuatnya. Untuk sekarang aku tidak punya hati lagi untuk memisahkan Gizem dan Mas Fazwan.
Hari semakin malam. Udara dingin mulai menyapaku. Suara Gizem sudah tidak terdengar lagi. Membuatku penasaran apa yang dilakukan Ayah dan Anak itu. Sebelum akhirnya ketika aku berdiri, aku merasakan Mas Fazwan menahan pundakku kembali duduk. Dia kemudian ikut bergabung denganku. Duduk tepat di sebelahku. Ikut minum kopi dari gelasku.
Kebersamaan ini membuatku tersenyum. Diam-diam aku menggenggam tangan Mas Fazwan. Seperti ini membuatku merindukannya. Seminggu lagi, mungkin aku akan kembali ke Ausie. Meninggalkannya untuk yang kesekian kali. Udara dingin semakin membuatku diam merapatkan diri mengikat lengannya. Sesekali memandanginya untuk sekali lagi. Andai kisah Paris kita masih ada, aku membayangkan kami berfoto di depan eifel dan menunjukkan bagaimana kesungguhan cinta kami.
"Kurang dari seminggu aku bakal balik ke Ausie."
Seolah mengerti dengan semua rencanaku. Mas Fazwan mengangguk. Pisah lagi, mungkin itu yang sedang dipikirkannya. Aku tahu dia tidak terlalu bersemangat untuk kisah perpisahan kami.
"Gizem aku bawa."
"Iya tahu kok, biar dia dapat pendidikan bagus di sana," jawab Mas Fazwan.
Aku mengangguk. Membayangkan Gizem sekolah di Ausie. Menempuh pendidikan di sana, sudah menjadi impianku. "Kalau dia mau."
Mas Fazwan terkekeh. "Dia bisa nggak nolak permintaan kamu? Kayaknya nggak bisa deh."
Gizem memang tidak pernah sekalipun menolak perkataanku. Dia bukan tipe anak pembangkang. Hanya ke Mas Fazwan yang hidupnya agak sedikit santai. "Bisa kalau kamu yang minta," jawabku santai. "Tapi soal pendidikan jangan pernah atur dia," ancamku.
Sementara sambil menikmati udara puncak. Aku menikmati rangkulan Mas Fazwan. Untuk sekarang entah kenapa aku sangat membutuhkan dukungan. "Mas," panggilku ragu. Dijawab dengan dehaman. "Nggak jadi." Malah kata itu yang keluar. Keraguanku membuat Mas Fazwan menggeleng tidak percaya. Dia akhirnya ikut tidak tahan untuk mengeluarkan dengusan. Menyandarkan kepalanya di bahuku. Aroma rambut Mas Fazwan mirip dengan aroma sampo Gizem. Aku sedikit curiga dia pakai sampo anaknya. "Kamu pakai samponya Gizem ya?" tanyaku penuh telisik. Kembali mengendus aroma rambutnya.
"Dikit doang. Sampoku nggak kamu bawa sih," eluhnya. "Kamu juga nggak bawa sampo khusus orang dewasa. Mau ke warung udah terlambat banget. Terlanjut copot baju. Masa cari sampo sambil telanjang," ocehnya tidak masuk akal. Aku bawa kok sampo di tas. Memang dia saja yang tidak mau cari. Pakai alasan aku tidak bawa samponya lagi. Aku curiga sabun mandinya Gizem juga dipakai. Aku memang tidak menyiapkan sampo kami di bathtub, jadi buat Mas Fazwan itu sedikit menyusahkan.
"Alasan banget."
Sudah tahu sampo untuk bayi tidak terlalu berbusa malah dia pakai. Aku yakin Mas Fazwan menghabiskan semua isi samponya.
"Beneran Sayang, kamu cek deh mana ada sampo buat kita. Kamu cuma bawa punya Gizem doang kok."
"Siapa bilang nggak ada. Di tas udah aku siapin semua. Emang dasarnya aja Mas Fazwan yang males cari." Bukannya merasa bersalah, aku dengar kekehan pelan dari bibir Mas Fazwan. Membuatku gemas sendiri. Persis anak kecil.
Obrolan kami akhirnya merangkak kepada hal yang lebih serius. Urusan kerjaan menjadi topik pembicaraan kami setelahnya. "Pekerjaan kamu okey kan?" tanyanya. "Nggak berantakan gara-gara kamu balik ke sini lagi?" tanya Mas Fazwan. Sepertinya Paris masih mengganggu kepalanya. Padahal sudah aku bilang berkali-kali kalau pekerjaan di Paris selesai. Hanya tinggal eksekusinya saja.
"Tinggal eksekusi," jawabku. "Nggak ada yang musti dimasalahin. Atau ini rencana kamu ya Mas biar karirku di Ausie hancur? Biar aku bisa sama kamu terus kayak gini?" candaku. Aku tidak benar-benar serius mengatakannya. Tetapi Mas Fazwan kelihatan serius sekali.
"Kamu percaya aku kayak gitu? Hancurin karir istri sendiri?" tanyanya. Mukanya benar-benar serius. Membuatku takut.
"Ya enggak lah, Mas. Becanda tahu. Jangan dibuat serius ah, takut lihatnya."
Dia menggeleng. "Tapi aku beneran serius," katanya melanjutkan perdebatan yang mungkin akan menjadi pertengkaran. "Dengar ya Sayang, aku tuh terserah kamu maunya gimana. Nggak ada yang ngelarang kamu karir ini itu. Dulu mungkin aku iri. Sekarang nggak lagi. Aku malah bangga kamu punya masa depan yang jauh lebih istimewa."
Aku diam mendengarkan.
"Apa aku pernah ngelarang kamu pergi ke Ausie, meskipun aku di sini sendirian? Pernah aku ngeluh ini itu ke kamu? Meskipun sebenernya aku tuh kangen banget sama kamu atau Gizem. Dan kamu pikir selama ini aku hanya diam saja? Aku juga mikir gimana caranya aku nyusulin kalian ke sana. Biar kita bisa sama-sama. Nyatanya cuman mentok di sini. Aku jadi cowok memang nggak berguna."
"Nggak gitu, Mas."
Dia tersenyum prihatin. "Emang nyatanya kayak gitu."
Aku menatapnya beberapa saat. Lalu menyandarkan tubuh di sandaran kursi. Membuat Mas Fazwan hanya menunduk begitu. Benar-benar terlihat seperti seseorang yang tidak berguna sama sekali. Aku memang durhaka. "Kalau kamu nggak bisa nyusulin kita ke Ausie. Kayaknya yang musti balik ke Jakarta itu aku."
Mas Fazwan tampak terkejut mendengarnya. Memang tidak ada rencana seperti ini. Aku kembali mengambil napas panjang setelahnya. "Gizem bisa punya pilihan pengen kuliah di Ausie atau Singapur, terserah dia nanti. High school di sini, punya guru ayahnya sendiri. Kelihatannya juga menarik. Biar ayahnya nggak punya pikiran kegatelan sama murid-murid di sekolah. Aku nggak mungkin bertahan di Ausie selamanya sementara kamu di sini. Yang jelas, buat sekarang aku mau rencana yang gampang. Nggak rumit lagi."
Mata Mas Fazwan beekaca-kaca. "Demi aku lagi?" tanyanya. "Misal aku nggak ngizinin kamu berkorban lagi?"
Gantian aku yang diam.
"Misal aku minta kamu tetap di Ausie kejar semua cita-cita kamu?"
Aku menatapnya, tersenyum. "Ini bukan tentang kamu. Sayangnya Gizem juga masuk di dalam dunia kita. Kita nggak harus egois hanya karena keinginan kita masing-masing. Kita sama-sama punya kehidupan dan masa depan yang harus dituju bersama."
Aku menghembuskan napas panjang.
"Aku ingin Gizem nggak nganggap aku Ibu jahat, memisahkan anak dan ayahnya."
Tangan Mas Fazwan membelai lengan gue. Seolah memberikan kekuatan. "Aku tahu ini keputusan yang berat buat kamu. Tapi Sayang, kalau kamu rasa ini berat buat kamu. Please tolong jangan berkorban terlalu berat. Gizem itu anak yang baik. Dia pasti ngerti kok kesulitan kamu," katanya. "Aku janji nanti coba bikin dia paham kalau Ibunya ini wanita yang hebat. Dia juga pasti bangga sama kamu."
"Aku sayang kamu, Mas. Sayang Gizem juga."
"Iya," jawabnya. "Kamu itu istri yang hebat. Istri terbaik pokoknya. Ibu yang luar biasa juga."
Aku memaksa diri untuk memeluk Mas Fazwan lebih dulu. Dia membalas pelukanku tidak kalah eratnya. "Kalau disuruh pisah lagi, aku beneran nggak bisa. Kita sama-sama lagi ya bangun rumah tangganya. Biar nggak rapuh lagi. Udah banyak rayapnya."
Mas Fazwan mencium bahu ku. "Makasih udah jadi istri versi terbaik. Aku janji sama kamu. Sama Gizem juga. Jadi Ayah versi terbaik juga. Help me."
Aku merasakan puncak kepalaku di kecup. Bukan hanya itu, Mas Fazwan juga merapalkan doa-doa. Aku hanya bisa memejamkan mata. Berharap doa itu memberkati kami. Ngobrol sama Mas Fazwan rasanya ringan. Tidak ada lagi yang perlu aku khawatirkan. Dadaku beneran plong, tidak ada lagi rasa sesak.
Yang kalaupun ini salah, aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusanku. Setidaknya aku mendapatkan keduanya.
Mas Fazwan dan juga Gizem.
Masa depanku.
****
~ Senin, 01 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...