Chapter 18. [C]

189 8 2
                                    

Fazwan POV

Sehari setelah kejadian itu, rumah menjadi minim suara. Dari kemarin Gizem nggak ada kelihatan sama sekali. Hanya Ayyub yang bergabung untuk sarapan sama-sama. Gizem sama sekali nggak terlihat. Muncul di hadapan gue aja nggak pada. Setahu gue, Nisrina bilang kalau putrinya itu lagi marah. Buat ngelihat gue aja katanya sebel banget.

Malem-malem terpaksa gue duduk nunggu di depan teras. Melihat jalanan depan rumah. Sekiranya pukul tujuh malem gue denger mobil Adi berhenti di depan rumahnya. Disusul Gizem keluar dengan tampang bete begitu dia lihat gue di depan. Dia beneran marah. Nggak noleh sedikitpun. Bahkan seperti menghindari gue.

Kalau sudah kayak gini, gue memilih untuk menegur Gizem lebih dulu. Gue nggak mau dia makin marah ke gue. "Sampai kapan kamu marah gini ke Ayah?" tanya gue menghentikan langkah Gizem. Persis Nisrina kalau lagi ngambek. Padahal ini juga demi kebaikan dia.

"Sampai Ayah mau minta maaf. Nggak seenaknya aja jadi orang," kata Gizem penuh penegasan.

Gue menghela napas panjang.

"Aku tuh sedih ngelihat Ayah kayak gini. Marah-marah nggak jelas sampai main fisik."

"Ayah cuman mau kamu dapat calon suami yang baik."

"Lah emang jahatnya Adi di mana?"

Gue kemudian mulai menceritakan apa yang gue denger kemarin. Saat Gizem nangis waktu telponan sama Adi.

"Ayah nggak mau aja ngelihat kamu nangis karena dia," kata gue membuat Gizem malah menatap gue nggak percaya sambil menggelengkan kepala.

"Lain kali Ayah nggak usah ikut campur."

Gizem akhirnya menceritakan semua masalahnya saat itu. Dari apa yang gue tangkap semuanya nggak ada hubungannya dengan sifat Adi. Gue malah terkejut. Yang bikin masalah ternyata anak gue sendiri. Dia ketahuan selingkuh di depan Adi dan semalam itu ngemis-ngemis minta maaf sambil nangis. Ya kan gue nggak tahu ya, jadi merasa bersalah ke Adi.

"Kamu kok bisa selingkuh?" tanya gue heran. Anak ini ternyata persis Nisrina banget.

"Nggak selingkuh sih Yah hitungannya," jawabnya enteng banget.

Kalau gue jadi Adi jelas minta putus lah. Gini aja dia jawabnya enteng banget. Kayak nggak bersalah. "Kamu jadi cewek jangan macem-macem ya, Nak!" tegur gue.

Gizem memelototi gue.

"Ayah nggak suka ya kalau kamu jadi orang jahat."

"Hm," jawab Gizem.

"Yang harusnya Ayah marahin itu kamu bukan Adi." Gue bener-bener kecewa.

Apa sih yang ada dipikiran anak ini. Lihat, sekarang aja dia nggak kelihatan menyesal sama sekali. Kurang baik apa coba Adi. Bahkan waktu gue pukul semalam, dia nggak banyak protes. Pulang bahkan masih pamit ke gue meskipun udah gue pukul. Gizem benar, lain kali gue nggak harus ikut campur. Kalau udah tahu masalahnya kayak gini gimana coba? Bahkan gue nggak bisa marah ke Gizem. Gue sayang dia, gue beneran hanya bisa diem kalau sudah kayak gini.

"Aku capek, Yah. Mau istirahat dulu," katanya saat itu. Gue mengangguk. Wajah gue beneran pucat. Sementara otak gue berpikir tanpa ketenangan sama sekali. Semuanya tampak suram di hadapan gue.

Dari kenyataan yang gue dapatkan, gue langsung mencari Nisrina.

Gue lihat dia lagi duduk di depan TV. Lagi santai banget. Jadi nggak tega mau cerita soal Gizem. Dia pasti kecewa banget.

"Kenapa kamu kok lesu banget?" tanya Nisrina begitu melihat gue menaruh punggung di sebelahnya.

"Gapapa," jawab gue. Kepala gue sebenarnya terus memikirkan Gizem.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang