Chapter 13. [A]

205 10 1
                                    

Nisrina POV

Aku bisa mendengar suara detak jantungku berpacu dengan cepat. Sementara mataku tidak berhenti memandang orang-orang yang tersenyum bahagia di depanku, Mas Fazwan salah satunya. Sejak tadi dia tidak berhenti menyunggingkan senyum manisnya. Setelah apa yang terjadi di ruang operasi dan drama kelahiran bayi kita, kali ini dia tidak berhenti buat mengecupi pipiku. Matanya mengatakan semua baik-baik saja.

Setelah aku hampir kehabisan darah melahirkan secara cecar bayi kami. Sampai sekarang aku masih belum mendengar tangisnya. Dokter langsung membawa bayi kami ke ke dalam ruang khusus untuk melakukan tindakan.

"Bayinya baik-baik aja kan?" tanyaku. Suaraku mungkin terdengar serak. Tetapi aku tidak tahan untuk mengatakannya sekarang. Aku harus memastikan bayi kami baik-baik saja. Bahkan kalau memungkinkan, aku ingin melihat bayinya sekarang. "Mas? Jawab dong."

"Iya, nanti kita lihat sama-sama ya. Bayinya baik kok. Masih dalam perawatan. Dokter bilang oke. Nggak ada yang kelewat satu pun. Bayinya normal. Cantik, mirip kamu." Mas Fazwan mencoba meyakinkan sambil mencubit hidungku. Namun aku tidak percaya. Tidak pernah ada ibu dan bayi dipisahkan selama proses ini. Aku bahkan belum melihat bayiku sama sekali, bahkan tangisnya. "Habis ini kita lihat sama-sama ya. Kamu istirahat dulu."

Mas Fazwan menepati janjinya. Membawaku ke ruang bayi. Diikuti oleh perawat yang menunjukkan inkubator berisi bayi mungil kami. Mataku berkaca-kaca. Dia kecil banget. Hanya dua kilo. Ada alat bantu napas dan beberapa selang yang tidak tahu itu apa menempel di dadanya. Bikin aku menoleh ke arah Mas Fazwan, dia cuman mengangguk. Seolah itu bukan sebuah masalah. Sementara sebagai seorang ibu mataku jelas berkaca-kaca, merasa bersalah karena tidak bisa memberikan gizi terbaik untuk bayiku selama di dalam kandungan.

"Udah kamu adzani?" tanyaku ke Mas Fazwan. Dia mengangguk. "Boleh aku denger kamu sekali lagi?" Tanpa diminta Maz Fazwan membungkuk. Mendekatkan mulutnya ke lubang inkubator dekat telinga bayi. Mulai mengumandangkan adzan sesuai dengan suara kecil, aku tidak yakin bayinya juga dengar. Nanti kalau kondisinya baik-baik saja, aku minta Mas Fazwan mengadzani sekali lagi. Sang bayi merespon dengan menggeliatkan badannya.

Selesai adzan, aku memperhatikan bayi itu. Tidak menangis. Waktu aku tanya tadi, Mas Fazwan bilang kalau bayinya tidak mudah menangis. Dia cewek yang kuat dan pemberani nyaris sepertiku. Entah harus percaya atau tidak, sampai aku duduk di sini, bayiku tidak menangis sama sekali. Hanya menggeliat dengan mata terpejam.

"Hai," sapaku. "Maafin Bunda ya nggak bisa nemenin kamu di sini. Kamu yang sehat ya di sana. Biar cepet pulihnya. Biar kita pulang sama-sama nanti."

Setelah itu Mas Fazwan membawaku keluar. Dia bilang bayinya harus istirahat. Jadi aku hanya bisa menurut saja.

Terasa sangat singkat bagiku. Mas Fazwan bahkan beberapa kali mencoba meyakinkanku kalau bayinya baik-baik saja. Membuatku semakin berpikir yang tidak-tidak.

Sampai di ruang inapku sendiri. Aku mencegah Mas Fazwan untuk pergi. Dia bilang mau ngurus keperluan bayi yang diminta perawat. Entah kenapa aku reflek mencengkram tangannya erat.

"Habis ini balik lagi kok, mau beli pempers-nya si cantik."

Aku menggeleng. Untuk sekarang aku mau penjelasan kenapa bayiku ada di sana. Juga bagaimana kondisinya sekarang. Aku tidak mungkin menjadi ibu yang tidak tahu apa-apa soal kondisinya.

Mas Fazwan akhirnya menurut. Duduk di kursi sebelahku. "Baik-baik aja. Dokter bilang beratnya kurang. Awalnya nafasnya masih berat. Jadi harus dirawat sementara pakai inkubator. Dia baik kok. Udah nggak papa sekarang. Dokter bilang paling lama cuma seminggu."

"Nggak ada yang serius kan?" tanyaku spontan. Penjelasan Mas Fazwan membuatku sedikit terkejut.

"Kayak kelahiran pada umumnya, nggak papa kok. Mama juga bilang dulu berat kamu waktu lahiran juga sama kurangnya."

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang