Chapter 3. [B]

482 10 5
                                    

Fazwan POV

Kami memilih makan di restoran Jepang. Walaupun menurut gue nggak terlalu mengenyangkan. Itu cukup lah buat ganjel perut. Nisrina bilang dia mau makan makanan sehat, tidak terlalu berlemak. Makanan Jepang kandidat yang tepat, bagi Nisrina. Dimana dia hanya memesan satu set susi dan juga ikan ikanan yang masih mentah.

"Ini aja nggak papa kan, Mas?" tanya Nisrina minta pendapat gue. Jujur aja, gue nggak pernah mempertanyakan apa yang dia pesan. Mau-mau dia saja. Toh gue bukan orang yang ribet pilah pilih makan.

"Tapi kalau kamu mau nambah, nambah aja," kata gue pada Nisrina. "Mau aku orderin lagi? Satu porsi lagi deh sekalian."

Nisrina balas menggeleng. Dia tidak tertarik buat order satu menu lagi. Padahal kalau menurut gue ini terlalu sedikit. "Aku ini aja cukup."

Gue akhirnya diam. Lebih tertarik buat ikut makan orderan Nisrina. Meskipun gue sendiri nggak terlalu tertarik makan masakan Jepang. Menurut gue rasanya agak aneh, banyak yang mentah daripada yang matang. Anehnya, Nisrina malah suka banget. Dari tadi gue lihat matanya berbinar bahkan bibirnya nggak berhenti buat senyum.

"Enak nggak?" tanya Nisrina tiba-tiba. Mungkin begitu melihat gue nggak terlalu antusias buat makan.

Gue mengeringai, kemudian menggeleng. "Masih enakan nasi padang."

Dia terkekeh. Beruntung nggak marah. "Lidah orang Indonesia banget," sindirnya.

Nggak lama minuman kami datang. Gue pesan kopi biar bisa ngimbangi rasa aneh ini. Sementara Nisrina malah memesan green tea. Beneran udah niru orang Jepang. Teh-nya beneran warna hijau.

"Penasaran sama rasanya?" tanya Nisrina mengulurkan mug teh-nya ke arah gue.

"Kayaknya aku lebih penasaran kenapa kamu tiba-tiba ngajakin aku dinner."

Nisrina nggak langsung menjawab. Lebih dulu meneguk teh-nya sambil tersenyum. Lain kali kalau dia senyum kayak gini gue beneran bisa mati karena terlalu cinta sama dia. "Ya nggak aneh sih, kenapa kamu pikir ini aneh? Emangnya kita jalan gini emang aneh banget ya?" Dia bertanya. Nggak ada yang aneh. Beneran nggak aneh. Tapi dari banyaknya kesempatan makan di luar, ini pertama kalinya dia ngajak secara langsung. Bukan karena alasan laper atau apapun. Dan biasanya lebih banyak gue yang menawarkan tempatnya. "Aneh sih mungkin karena hubungan kita kayak gini, tapi sebagai suami istri nggak ada yang aneh sama sekali."

"Gini gimana maksud kamu?" tanya gue. "Kamu merasa aneh sama hubungan kita?"

Topik pembicaraan kami mulai menegang. Terlebih saat Nisrina menghembuskan napas panjang setelahnya. Dia bahkan menjelaskan kalau hubungan kami ini hanyalah karena komitmen satu sama lain. Nggak ada yang mengikat lagi, termasuk cinta. Setelah mendengar penjelasannya, gue jadi pesimis hubungan kami akan berlangsung lama. Raut kecewa di wajah gue mungkin nggak bisa disembunyikan lagi setelah itu.

"Nggak usah dipikirin sampe segitunya," protes Nisrina begitu melihat raut muka gue mulai berubah. "Kita nggak lagi ngomongin mau pisah besok. Yang lain biar ngikut ke belakang. Banyak kok pernikahan yang kayak gini. Pernikahan Mama Papa juga nggak ada bedanya. Aku udah capek mikirin yang lain lagi. Kerjaanku lumayan bikin capek yang kayak gini nggak perlu terlalu diurusin."

"Jadi kamu maunya gimana kedepannya?"

"Ya tinggal di jalanin aja apa susahnya?" tanya Nisrina sambil mengunyah susi di mulutnya. Setelahnya selera makan gue beneran nggak ada.

Gue mengangguk paham. "Kalau nggak ada kecocokan di antara kita? Kamu nggak mungkin tiba-tiba minta pisah kan?"

"Aku nggak mungkin minta pisah sama orang yang aku nikahi. Mudah-mudahan aja," jawabnya dengan senyum cukup lebar. Kembali melahap susi yang dibelinya. Gue hanya tersenyum miris, kemudian memakan orderan kami. Gue nggak perlu mengeluh. Gini juga bagus juga. Artinya kalau pernikahan terkadang bisa hancur hanya karena cintanya mulai luntur. Aku rasa hal yang sama nggak akan terulang di pernikahan gue sama Nisrina. Jenuh mungkin, tapi gue rasa kalau dimulai dari titik kosong, jenuh mungkin nggak akan terjadi.

"Kamu punya bayangan nggak kalau kita punya anak suatu saat nanti?" tanya gue. Sengaja memancing. Gue pengen tahu jawabannya. "Kita nggak lagi mikir pengen berdua tanpa anak kan?"

Nisrina tertawa pelan. "Aku masih belum mikirin ini sampai ke sana."

Aku lihat piring Nisrina yang semula penuh menjadi kosong.

"Kalau kamu sudah siap kita bisa pikirin program hamil."

Mau nggak mau gue yang harus lebih dulu mengusulkan.

Dia menggeleng, mengunyah susi terakhir, sebelum akhirnya mengatakan, "Kamu kemakan omongan siapa sih? Kok tiba-tiba ngebet pengen punya anak? Aku masih belum kepikiran mau ke sana. Bisa kita omongin lain kali."

"Itu karena kamu memang nggak mau aja kan? Punya hubungan yang lebih mengikat dari ini?" sindir gue. Udah nggak tahan lagi. "Aku juga pengen punya keturunan seperti yang lain." Omongan Bu Wiwin sama Dio sepertinya memang mempengaruhi gue waktu itu.

"Kamu pikir punya anak juga bakal semudah itu?" tanya Nisrina jengkel. "Aku yang hamil, aku yang ngelahirin, aku yang nyusuin. Pakai badanku semua. Kamu mikirin ini nggak sih? Sesiapnya aku lah. Yang dapet enaknya itu cuma kamu, tinggal tabur tuai."

Dari cara ngomongnya meskipun pelan. Itu jelas suatu sindiran keras.

"Capek kalau musti nurutin apa kata orang. Orang tua kita aja nggak ada yang heboh. Nggak nuntut ini macem-macem. Punya anak atau nggak terserah kita, kok kamu jadi mikirin orang lain sih," protesnya.

Gue menyandarkan tubuh di punggung kursi. Mengilangkan tangan di depan dada. "Siapa yang mikirin orang lain? Ini soal kita. Soal masa depan kita nanti. Soal siapa yang ngurus kita waktu udah tua nanti. Siapa lagi kalau bukan anak-anak. Kita nggak selamnya muda."

Nisrina awalnya hanya diam saja. Sebelum akhirnya kembali bersuara. "Ya kalau gitu kamu maunya gimana?"

Gue tersentak dengan jawabannya yang super ketus. "Iya bener, kamu nggak salah sama sekali. Aku nggak harus maksa kamu. Kita lupain aja."

Udah gitu aja. Setelahnya Nisrina memilih menunggu gue menghabiskan makanan. Sesekali dia terlihat sibuk dengan ponselnya. Perubahan raut mukanya sangat cepat. Mudah senyum juga mudah cemberut waktu main ponsel. Beda kalau gue ajak bicara. Kebanyakan ngosok dan juteknya, cara ngomongnya juga ketus.

Setelah selesai. Nggak pake ba-bi-bu lagi, Nisrina langsung mendorong kursi angkat kaki. Dia bahkan nggak ngomong apapun lagi. Masih kelihatan bete sama gue. Tapi masih bisa senyum ke pelayan restoran. Gue jadi heran. Bahkan dengan santainya dia menyerahkan tas kerjanya ke gue. Jalannya aja mendahului. Dasar menyebalkan. Gue cuman mendengus selama jalan di belakangnya.

Baru saja memutar kontak, menghidupkan mobil. Mata almond Nisrina intens menatap gue. "Aku nggak mau bertengkar terus sama kamu cuman gara-gara ini doang. Bukan aku nggak mau bahas ini. Tapi Mas, aku udah sebisa mungkin berusaha buat cinta sama kamu. Berusaha menerima kamu sekarang. Ngajak kamu sering-sering buat makan bersama setiap pagi dan malam, nyempetin semua biar perasaanku bisa berubah. Nggak cuman anggap kamu temen doang. Kalau kamu kayak gini. Sering bikin aku marah, gimana aku bisa buat suka sama kamu? Terus sayang sama kamu?"

Yang nggak gue duga, Nisrina tiba-tiba mencondongkan badan ke arah gue. Tanpa aba-aba mendaratkan bibirnya ke bibir gue. Gue beneran terbelalak karena sangking terkejutnya, sementara Nisrina mulai memejamkan mata. Menarik gue dalam gejolak yang dia ciptakan. Setiap detik rasanya cukup berharga buat gue. Bahkan sekarang gue rasa jantung gue melompat kegirangan. "I can't wait to falling love with you."

Entah itu kalimat hiburan atau bukan, perkataan itu terdengar sangat jelas dalam di telinga gue.

Gue hanya bisa menyeringai. Spontan membalas kecupannya. Meskipun Nisrina cepat menarik diri. "I can't wait anymore."

****

~ Jum'at, 12 Januari 2024

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang