Nisrina POV
Agak siangan sedikit. Kondisi Mas Fazwan mulai membaik. Dia sudah bisa jalan-jalan. Udah bisa ambil air es di kulkas. Sesekali memasang tampang heran ketika memperhatikanku masih sibuk dengan pekerjaan di pantry. Memang sih, meskipun mendapatkan jatah cuti karena alasan sakit. Kerjaanku tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ada tumpukan ide skenario film yang ingin aku salurkan. Jadi aku memilih untuk bekerja daripada nyantai-nyantai tidak jelas sambil nonton televisi.
"Sayang?! Ini kok kaktusnya penuh air sih?" teriak Mas Fazwan dari balkon. Aku hanya mendengus. Ya jelas aku siram air lah. Lagian siapa yang ngurus tanaman pagi-pagi kalau bukan aku. "Sini deh kamu."
"Apa sih? Masih untung aku siramin."
Aku tetap menghampiri Mas Fazwan yang kelihatannya heboh banget di balkon. Dia bahkan tidak membalas ucapanku lagi. Membuatku makin penasaran 'ada apa sih?' orang sedari tadi aku duduk di pantry sambil buka laptop. Seperti aku saja yang salah. Padahal salah sendiri dari tadi tiduran. "Ini nih lihat nih, kok bisa kamu siram kaktus sampai banjir kayak gini sih?"
Aku menyipit. Mengingat kembali. "Ya iyalah, namanya juga dikasih air. Ya gimana harusnya?" tanyaku bingung.
Mas Fazwan mulai terlihat cemas. Menenteng vas bunga kaktus untuk terkena sinar matahari, menjemurnya bagaikan cucian basah. Aku sendiri hanya diam memperhatikan. Tidak melakukan apapun selain berdiri dengan tatapan bingung. Yang jelas tidak bertanya apapun sebelum Mas Fazwan malah mengomeliku. Meskipun menurutku ya tidak perlu diomeli lah, orang masalah tanaman doang, kalaupun rusak atau mati bisa beli lagi. Toko bunga banyak kok di Jakarta. Emang dasarnya Mas Fazwan saja yang hiperbola.
"Udahlah. Cuman tanaman doang juga." Aku mulai kesal juga. Cuma tanaman kok.
"Cuma tanaman buat kamu, buat aku enggak!" jawab Mas Fazwan dengan nada agak tinggi. "Ini penting buat aku sebagai pemula hubungan kita. Ini juga kamu yang pilih kan waktu itu. Artinya apa? Ini pemberian kamu. Tanaman yang harusnya aku jaga. Bukan aku sia-siakan. Apa artinya kalau aku nggak bisa jaga bunga pemberian kamu?" Panjang lebar Mas Fazwan menjelaskan. "Ya meskipun nggak secara langsung, itu beli pakai uang kamu loh."
Aku semakin diam. Mas Fazwan beneran kelihatan marah banget. Toh aku sendiri yang katanya 'memberi' malah tidak sama sekali keberatan mau kaktus itu rusak atau mati. Menurutku tidak penting banget. Hanya tanaman kaku penuh duri. Tidak menarik sama sekali. "Aku nggak papa kok tanamannya mati. Lagian...." Belum sempat melanjutkan ucapanku. Mas Fazwan sudah melirik dengan angkuh. Membuatku urung mengatakan sesuatu. Mending aku simpan rapat-rapat. Tidak ada gunanya juga membela diri, toh di dalam kepala Mas Fazwan akulah yang salah. Meskipun kenyataannya, aku tidak salah sedikitpun. Aku hanya menjalankan tugas sebagai istri yang baik, mengurus Mas Fazwan sakit, menyirami tanamannya, menyiapkan sarapan, masalah tanaman itu salah treatment ya bukan urusanku. Padahal aku sudah bilang sebelum beli kaktus waktu itu, aku tidak tertarik buat merawatnya. Emang dasar Mas Fazwan saja yang keterlaluan. Kalau sudah kayak gini malah disalahkan.
Setelah Mas Fazwan selesai dengan kaktusnya. Dia kembali ke kamar. Dari belakang aku ikuti. Merasa bersalah sendiri. Apalagi Mas Fazwan kelihatan tidak happy banget.
"Kalau nggak tahu itu tanya, Yang," ujarnya kemudian. Memposisikan dirinya terbaring di ranjang.
"Sorry." Aku akhirnya menurunkan ego. "Aku beneran nggak tau, Mas."
Dengan muka jutek untuk yang pertama kalinya Mas Fazwan memijit kepalanya sendiri. Menatapku tajam. Seolah aku ini musuhnya. Tanpa banyak bicara aku langsung memeluk tubuhnya. Menaruh kepalaku di dadanya. Dan salah satu teknik agar Mas Fazwan tidak marah, dengan halus aku mengusuk pelan tengkuknya. Cowok paling suka tengkuknya diperlakukan seperti itu. Sudah pasti akulah yang menang, bukan setan-setan jahanam yang membujuk Mas Fazwan untuk tetap marah kepadaku. "Maaf ya Mas. Aku beneran nggak tahu. Janji nggak bakal aku ulangi lagi kok," ujarku dengan suara manja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mandatory Love [Lengkap]
ChickLit21+ "Sometimes going home is not an option, but a mandatory." ~ Nisrina Chandrakanta Fazwan Ganendra ~ "Berhenti mencintaimu bukan suatu hal yang aku bayangkan." Ammar Zayn ~ "Cintaku mungkin salah, tapi rasanya tidak akan semudah itu meninggalkan s...