Chapter 17. [A]

124 5 2
                                    

Gizem POV

RAN ISHIKAWA....

Jadi pertama kali aku dengar namanya, murid pindahan dari Jepang yang aku sendiri tidak tertarik untuk mengenalnya. Duduk tepat di sebelahku dengan julukan si kutu buku baru. Untuk mencoba hadir di dalam hidupnya, tidak sempat terpikirkan. Kecuali hari itu, ketika tiba-tiba guru olahraga kami memasangkanku dengan cowok ini. Tugas kelompok membuat vidio pendek tentang teknik renang, teknik lari dan juga teknik bermain voli. Yang aku sendiri tidak pernah belajar. Meskipun Ayah guru olahraga di sekolah lain. Aku memang tidak terlalu suka olahraga. Lebih baik belajar matematika dibandingkan belajar segala hal berbau olahraga.

"Aku nggak bisa renang," kataku saat itu. Langsung menembak biar Ran tidak menyesal satu kelompok denganku. Takutnya dia menyesal karena aku tidak bisa apapun.

"Saya juga tidak bisa," jawab Ran santai. Seolah dia nggak keberatan satu kelompok dengan orang bodoh sepertiku.

Ran jelas berbohong saat dia bilang tidak bisa. Yang aku tahu dia sudah tergabung di club bola basket dan bola voli di sekolah. Hanya selang seminggu setelah dia masuk sekolah. Dia mencoba mengejekku dengan mengatakan tidak bisa. Bisa-bisanya aku sekelompok dengan Ran. "Nggak usah bohong deh kamu." Aku berjalan mengikuti Ran. "Aku tahu kok kalau kamu jago banget olahraga." Dia balas senyum. Rasanya ini pertama kalinya aku melihat Ran tersenyum. Pertama kali yang membuat bibirku ikut menyunggingkan senyum serupa tanpa aku minta.

"Ya udah kalau gitu saya ajari." Senyumnya semakin lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. "Biar sama-sama punya nilai bagus."

"Lebih keberatan lagi kalau kamu diem aja nggak mau kelompok kita berhasil."

Sejak itulah aku mulai dekat dengan Ran. Ingat! Dekat bukan berarti kami memiliki hubungan khusus. Ini lebih ke hubungan pertemanan. Tidak ada yang spesial dari hubungan kami. Bahkan terkadang Ran lebih pendiam dari biasanya. Waktu itu sepulang sekolah, Ran tiba-tiba menegurku.

"Mau pulang sama saya?" tanya Ran ketika aku tengah membereskan meja, memasukkan buku ke dalam tas.

Aku agaknya sedikit terkejut. Kecuali Adi, tidak pernah ada yang berani mengantarku pulang. "Aku pulang sama Ayah. Udah dijemput kayaknya."

"Besok pulang sama saya saja, sekalian kerja kelompok," ujar Ran. "Biar tugasnya cepat selesai juga. Saya sudah bikin konsepnya." Ran menunjukkan buku catatan berisi konsep tentang vidio pendek yang akan kami kerjakan.

"Nggak bisa Ran. Ayahku pasti nggak mau."

Muka Ran datar. Tapi aku tahu dia kecewa. "Kalau mengerjakan tugasnya di tempat kamu?"

Aku tidak menjawab. Belum izin ke Mama Ayah. Mereka tidak pernah melarang kegiatan kelompok di rumah, tapi mengingat Ran cowok dan Ayah sangat posesif membayangkan Ayah terus menanyai Ran itu sangat menyebalkan. Ran bukan Adi yang sudah terbiasa dengan mulut bahil Ayah. Yang kemudian aku jawab dengan gelengan kepala.

"Ya sudah kalau begitu." Ran meninggalkanku. Bergabung dengan teman-temannya yang lain. Anak-anak basket yang kebetulan lewat di depan kelas. Bukannya pulang, dia sudah mau bersiap untuk main basket. Pakai seragam gitu, khas anak-anak sekolah males pulang sekolah.

Cewek-cewek yang gila anak anak basket, tidak jauh berdiri di depan kelas. Cari-cari pandang memperhatikan anak-anak basket yang sedang bermain. Aku rasa termasuk Ran. Mereka bahkan tidak sungkan berteriak ketika Ran melakukan gerakan menggiring bola ke arah ring basket. Aku hanya bisa mendengus. Benar-benar tidak tahu malu, meskipun aku sendiri tidak sadar memperhatikan Ran. Memang tidak pernah aku lihat atlet basket sekolah secakep Ran. Apalagi tinggi badannya di atas yang lain. Hampir setinggi Ayah.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang