Chapter 17. [B]

119 5 3
                                    

Gizem POV

Sejak Ran menawariku untuk pulang bareng. Saat itu juga aku meminta izin Ayah. Dia kelihatan tidak suka dengan ideku pulang sendiri. Mengkhawatirkan ini itu. Seluruh argumentasiku tidak diterima sama sekali. Seperti yang aku bilang, tidak mudah meyakinkan Ayah soal ini. Singkat cerita, aku sendiri yang memutuskan. Entah Ayah suka atau tidak, aku akan tetap pulang sendiri, tanpa dijemput. Bahkan aku sempat tidak menyapa Ayah selama seminggu. Dia harus tahu kalau tidak semua sesuai dengan pendapatnya. Aku juga mau mendengar pendapatku sendiri.

Andai Ayah tidak menegurku pertama kali, aku rasa, mungkin saja sampai sekarang aku tidak bicara dengannya.

Dan kabar gembiranya sekarang. Aku selalu pulang dengan Ran. Bukan hanya itu, sepulang sekolah kita selalu mampir ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Salah satunya duduk di atas rooftop gedung startup perusahaan Jepang. Baru pertama kalinya aku mengalami hal ini. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku bisa melihat Jakarta dari ketinggian. Dari sini juga terlihat sangat jelas kalau ternyata, Jakarta memang kota yang cukup penuh.

Kalau kalian tanya kenapa kita punya akses ke dalam gedung ini. Ran orangnya. Dia beruntung karena Ayahnya adalah seorang pendiri gedung ini sekaligus pemilik usaha startup. Dia hampir punya segalanya ternyata. Aku saja kaget. Mungkin dari sekian banyak anak sekolah, akulah yang tahu persis siapa Ran. "Udah lama keluarga kamu kerja di bidang teknologi?" tanyaku penasaran. Ran meremas besi pembatas rooftop. Rahangnya mengeras. Rupannya terganggu dengan pertanyaanku. Tetapi dia masih berusaha menjawab dengan sangat lembut, meskipun hanya dalam sebuah anggukan semata. Itulah saat dimana aku memutuskan untuk tidak lagi membahasnya. Memilih menikmati keindahan Jakarta dari sini.

Ran ikut berdiri di sampingku. Kalau aku berdiri untuk memandang Jakarta, dia malah berdiri menghadapku. Menatapku sambil tersenyum. Sialnya, ditatap seperti ini membuat jantungku berulah. "Kalau tidak terpaksa, aku mungkin masih memilih Jepang," katanya tiba-tiba. Apa dia terpaksa tinggal di Indonesia? Kalau begitu aku janji bikin Ran jatuh cinta sama Indonesia.

"Jadi intinya tepaksa banget nih?" tanyaku. "Emangnya Indonesia nggak semanis Jepang ya?" Aku ingin tahu apa yang Ran pikirkan tentang Indonesia sekarang. Yang ditanya malah terkekeh. Berbalik badan. Memandang Jakarta dari atas. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Nafasnya terlihat teratur. Seperti tidak ada beban sama sekali. "Jakarta nggak seburuk itu kok. Nggak kalah jauh sama Tokyo. Nanti deh aku ajak kamu keliling Jakarta. Hari libur maybe. Tapi jemput ya?" Aku mencubit pinggang Ran. Hingga membuatnya menyipit mata kesakitan. Ran kemudian menceritakan tentang kehidupannya di Jepang. Juga menceritakan bagaimana sulitnya dia di sana untuk mendapatkan teman. Tidak sama seperti di Indonesia. Lebih banyak introvert di Jepang daripada ekstrovert katanya.

"Nanti, kamu bakal tinggal di sini atau Jepang?" tanyaku penasaran. Dia menoleh. Tersenyum.

"Aku orang Jepang," jawab Ran. "Tinggal di Indonesia mungkin sampai selesai high school. Setelah itu aku kembali," lanjutnya. Ran benar, dia orang Jepang. Dia punya pilihan kembali ke Jepang lebih besar daripada menetap di sini. Buat dia Jepang akan jauh lebih nyaman. Harusnya aku tidak mempermasalahkan ini, hanya saja membayangkan suatu saat nanti Ran pergi, itu mempengaruhiku cukup banyak. Ran mungkin tidak berpikir untuk berteman denganku lagi nanti.

"Di Jepang lebih nyaman ya? Aku juga mau deh ke sana nanti. Suatu saat nanti." Ran ikut tersenyum dengan perkataanku. Dia mengangguk setuju. "Tapi Ran. Kalau kamu bilang Indonesia nggak nyaman kayaknya kamu kurang gaul deh. Main kamu kurang jauh." Aku memberikan pendapat lain. Enak saja dia bilang di sini kurang nyaman. Yang aku tahu siapapun turisnya bakal betah tinggal di Indonesia. Dia kurang nyoba banyak hal aja makannya tidak terlalu suka dia di sini. "Yuk, habis ini kita kemana lagi. Biar kamu nggak kurang gaul." Ran menyetujui perkataanku. Menarik tanganku turun dari rooftop.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang