Chapter 6. [B]

328 11 4
                                    

Nisrina POV

Tidak seperti biasanya, rasa lelah tubuhku benar-benar terasa. Setengah hari hanya duduk saja di kantor membuat punggungku sakit. Beberapa kali aku bahkan kedapatan mengencangkan punggung. Sekedar noleh kanan kiri atau menarik tangan ke atas. Melihat anak-anak kantor yang juga sibuk menyiapkan plot copywriting untuk promosi film. Aku memang tidak kebagian membuatnya, tapi aku sedang mempersiapkan revisian naskah baru. Sebenernya bisa dikerjakan di rumah, tapi aku lebih nyaman mengerjakan di kantor.

Kalau sudah begini anak-anak kantor biasanya jarang pulang. Milih di kantor buat menyelesaikan deadline daripada harus riwa-riwi pulang. Beda cerita kalau udah berkeluarga.

"Kak ada janji sama penulis novel ya?" tanya salah satu rekanku. Menjadi kesempatan buat menyandarkan diri di punggung kursi. Noleh ke arahnya. "Ditunggu di ruang Pak Angga."

Pak Angga adalah salah satu sutradara yang sedang mengerjakan proyek film kami nanti. Kebetulan aku juga kebagian sebagai assistennya. Pekerjaan baru yang coba aku tekuni. Itu sebabnya aku akhir-akhir ini lebih banyak di kantor. Untuk belajar juga. Dari dulu, aku memang bercita-cita menjadi sutradara. Membuat film sendiri adalah goals-ku di tahun ini.

Aku berdiri. "Udah nunggu mulai kapan? Kok nggak ngabari orangnya?" tanyaku heran.

"Udah Kak, katanya malah Kakaknya nggak bisa dihubungi." Mendengar itu aku langsung cek ponsel. Ternyata memang mati. Aku lupa cas ponsel setelah sampai kantor.

"Shanum, tolong cas hapeku ya." Aku mengulurkan ponsel. "Lupa nggak cas semalam."

"Siap, Kak."

Setelah itu aku bergegas ke ruangan Pak Angga. Melewati pantry. Mendapati Bia berdiri di sana dengan wajah kusam. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya. Matanya juga sangat sembab. Seperti efek menangis semalam. Aku hanya melihat dari kejauhan sebelum kembali melanjutkan langkah.

Ada batas yang aku ciptakan untuk tidak lagi mendekati Bianca. Apalagi terlalu ikut campur dengan urusannya. Untuk menghilangkan kenangan tentang Ammar yang mungkin masih membekas di kepalaku.

Setelah meeting kecil, di jam makan siang, aku langsung menuju kantin. Sendirian karena memang anak-anak PH dev.kreatif biasanya lebih banyak di luar daripada kantor. Sekaligus membalas pesan chat dari Mas Fazwan yang dikirimkan sekitar dua jam yang lalu.

"Boleh nggak duduk di sini?" Suara seorang pria membuatku mendongak, mengalihkan pandangan dari ponsel menghadapnya.

Jujur aku sangat terkejut dengan kedatangannya. Seseorang yang tidak aku harapkan datang berdiri di sampingku. Dengan senyum yang amat lebar. Aku bahkan sampai melongo dibuatnya. Membiarkan dia duduk di sebelahku. Dan sialnya aku hanya diam saja.

"Nggak usah terkejut gitu aku di sini," katanya. Ammar meraih tanganku yang masih gemetar karena kedatangannya. "Udah lama banget kita nggak sama-sama kayak gini." Dengan kekuatan yang ada aku mencoba menarik tanganku. Takut ada yang lihat, toh apapun yang aku lakukan, duduk bersama suami orang ini namanya salah.

Mendadak perutku mulai penuh saat makanan yang aku pesan datang. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku jutek. Bahkan aku mulai menghindari tatapan matanya. "Aku nggak mau ya ada gosip-gosip aneh tentang kita. Hanya karena kamu maksa duduk di sini." Tidak lama aku lihat makanan yang Ammar pesan datang juga, aku memesan soto ayam, sementara dia memesan nasi goreng. Menu yang sering dipesan Ammar. Aku jelas masih mengingatnya.

Tanpa menghiraukan perkataanku. Ammar malah mulai memakan suap demi suap. Seolah tidak ada masalah apapun. Masalah yang akan muncul kalau Bia melihat kita juga tidak dia hiraukan.

"Aku mau pergi aja..."

Belum sempat berdiri, Ammar sudah menahan tanganku. "Aku sama Bia sepakat mau pisah."

Jujur aku terkejut. Jadi wajah sembab Bia ada hubungannya dengan semua ini. "Gila kamu! Sekarang Bia yang jadi korbannya," protesku. Aku tidak tahu berapa keras nada bicaraku, tapi aku rasa beberapa orang mulai mendengar pembicaraan kami. "Kamu mikir nggak sih sebelum ngelakuin yang enggak-enggak harusnya mikir dulu. Ada Bia, istri kamu." Dari nada bicaraku kalian tahu kan larinya kemana? Nuduh Ammar selingkuh jelas ada di kepalaku.

Aku lihat Ammar menunduk. "Bukan aku. Dia yang selingkuh."

"Nggak mungkin," jawabku tidak percaya.

"Boleh kamu nggak percaya. Waktu itu aku memang salah. Tapi sekarang beda. Bukan aku yang selingkuh. Aku nyesel, Babe. Capek! Nggak tahan sama tingkah Bia. Aku harusnya sadar dari awal. Nggak ngelepas kamu gitu aja."

Aku tertawa kecil. Tersenyum miris. "Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Mar. Aku udah jadi istri orang. Jangan bawa-bawa aku di hidup kamu lagi."

"Oke sorry. Please beri aku kesempatan."

Aku beranjak pergi dari tempatku. "Udah banyak kerjaan yang nunggu," kataku beralasan.

Dahi Ammar berkerut. "Aku tahu kamu cuma menghindar kan?"

"Lagian udah nggak ada lagi hal yang musti kita bicarakan, Mar. Mending aku pergi."

"Kamu nggak bisa menghindar terus, Babe."

Aku tertawa sinis. "Nisrina, bukan Babe. Kamu lupa kalau kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi?"

Ammar dengan entengnya tersenyum. "Aku masih sesayang itu sama kamu, Babe."

****

~ Minggu, 18 Februari 2024

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang