Chapter 11. [A]

276 12 4
                                    

Nisrina POV

Seperti biasa, untuk menghindari interaksi apapun dengan Mas Fazwan, aku pulang agak sedikit lebih malam. Sekitar jam dua belas malam aku sudah sampai apartemen. Dengan langkah gontai membuka pintu unit. Sedikit terkejut dengan dua koper berukuran besar berdiri di ruang utama. Tentu saja bukan koperku, lebih mungkin kalau itu koper milik Mas Fazwan. Karena aku lihat laptopnya juga ada di atas koper.

"Jam segini baru pulang, dari mana aja kamu?" tegur Mas Fazwan.

Pertama kalinya dalam beberapa hari ini Mas Fazwan menaruh perhatiannya kepadaku. "Dari kantor, Mas," jawabku.

Mas Fazwan melaluiku menarik kopernya. "Besok-besok kalau pulang agak lebih maleman dikit biar Mama tahu kalau anaknya suka pulang subuh."

"Mama ke sini?"

Mas Fazwan tersenyum kecut. Sekilas memandangku dari atas sampai bawah. Dari tatapannya seolah merendahkanku. Kemudian dia hanya berlalu begitu saja. "Nggak penting juga kan buat kamu."

"Ya penting lah. Harusnya kamu bilang kalau Mama ke sini. Nggak harus gini. Seolah-olah aku nggak pernah ada sama kamu," protesku. Aku kemudian merogoh ponsel. Memeriksa apa ada panggilan dari Mama atau tidak. Ternyata iya, ada beberapa panggilan masuk di sana. "Mama bilang apa aja sama kamu Mas?"

Saat melirik, aku melihat Mas Fazwan sibuk memindahkan koper. Dia terlihat tidak ingin membuka obrolan apapun. Bahkan hanya sekedar menjawab pertanyaanku. Baiklah, kalau itu mau dia aku tidak akan memaksanya.

Aku berjalan dengan langkah gontai menuju kamar. Membiarkan pintunya terbuka. Lalu tidur tengkurap di sana. Capek, yang ada rasanya pengen tidur saja. Rasa lelah menggerogoti tubuhku.

"Di pantry ada mie ayam dari Mama kamu," kata Mas Fazwan ikut masuk ke dalam kamar. Jujur saja aku belum makan hari ini. Sama sekali tidak terisi makanan. "Daripada nggak dimakan sama sekali."

"Iya nanti aja, masih capek."

"Ya udah terserah."

Aku membalik badan, tidur terlentang. Memperhatikan Mas Fazwan sibuk dengan almari. Aku tidak tahu pasti apa yang dilakukannya. Hanya yang aku lihat, dia merapikan baju-bajunya. Percakapan kami memang tidak pernah panjang. Meskipun aku tahu Mas Fazwan sangat ingin bicara denganku. Terlihat dari gelagatnya. Bagaimanapun aku tahu kalau dia juga menunjukkan perasaan yang sama. Seperti yang dulu saat kami masih bersama.

"Kalau nggak dimakan mending kasihkan ke satpam sana. Biar dimakan. Itu udah keburu basi mie ayamnya," omel Mas Fazwan. "Oh ya mulai besok aku udah nggak tinggal di sini lagi. Gimanapun kita harusnya udah mulai pisah."

Jantungku berdegup kian kencang. "Tinggal dimana?" tanyaku penasaran. Meskipun begitu aku tidak bisa mencegahnya.

"Unit tiga lantai di atas unit ini." Aku mengangguk. Mengiyakan saja. Mungkin sudah keputusannya dan aku tidak bisa mencegahnya. Kecuali Mas Fazwan memang mau tetap tinggal di sini. "Sengaja pilih yang deket, biar nggak ada yang tahu kalau hubungan kita udah selesai." Mendengarnya agak menyakitkan.

Aku menghela napas panjang. Kembali telungkup. Sampai aku rasakan ada gerakan halus di ranjang sebelah kiriku. Setelah itu aku rasakan aroma hangat tubuh Mas Fazwan yang tiba-tiba mengecup pipiku. Begitu tiba-tiba hingga membuatku melotot terkejut.

"Saya sayang kamu, Nisrina." Jujur saja setelah Mas Fazwan mengatakan hal itu, aku mulai menyesali keputusanku. Seharusnya aku tidak menanggapi cerai dari Mas Fazwan.

Dengan keberanian besar. Aku berbalik mendorong leher Mas Fazwan mendekat lalu mengecup bibirnya dengan sangat cepat. Melampiaskan seluruh kemarahanku di sana.

Mandatory Love [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang