Kama mengakui dia masih menyimpan barang-barang pemberian Ethan. Tidak hanya itu, foto-fotonya bersama pria itu tak satu pun ia hapus di ponsel lamanya. Pengakuan lainnya yang sekarang membuatnya sangat panik adalah ... ia menggunakan tanggal jadian mereka sebagai passcode apartemennya.
Dan Ethan mengetahuinya!
Oh, Kama tahu apa yang dia lakukan menunjukkan jelas dia belum move on. Ode bahkan sampai tak bisa berkata-kata begitu tahu kode angka apa yang ia gunakan—hanya saja, Kama masih berat melepaskan semua hal yang berkaitan dengan Ethan dari hidupnya. Membuang semuanya seperti membuang separuh jiwanya. Kama hanya ingin melakukannya dengan perlahan-lahan sampai dia akhirnya terbiasa.
Tapi kenapa Ethan bisa tahu, sih?
Gadis itu berlari kencang dan panik menuju unit apartemennya. Menekan enam digit angka dengan cepat lalu mendorong pintu begitu kunci terbuka. Ketika kakinya sudah sampai di ruang tengah, langkah gadis itu terhenti—matanya bertemu pandang dengan Ethan yang duduk di sofa sambil melipat tangan dan tersenyum-senyum.
"Mas!" Kama ngamuk. "Kok nggak sopan sih masuk rumah orang tanpa izin?!" Lebih tepatnya ingin menutupi rasa malunya.
"Sorry," Ethan menyahut tenang. Pria itu bangkit berdiri, mendekati Kama. "Kamu nggak jawab telponku, chat-ku juga nggak dibalas. Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Jadi aku mau cek di apart."
"Ya ... tapi—"
"Anggap aja kita impas," potong Ethan. "Kamu kan juga pernah nerobos masuk apartemenku tanpa bilang-bilang."
"BEDA DONG! Aku terpaksa nerobos karena kamu lagi sakit. Aku panik!"
"Sama. Aku juga panik."
Kama membuang napas panjang sembari menyugar rambut ke belakang. "You can see, aku baik-baik aja. Sekarang kamu mending pulang."
"Aku belum mau pulang." Seenaknya Ethan menarik tangan Kama agar duduk di sofa bersamanya. Tanpa melepas genggamannya, Ethan bergerak miring menghadap gadis itu, menatapnya lekat. "Kok lama pulangnya? Aku nungguin."
Kama berdeham. Mengalihkan pandangannya dari tatapan lekat Ethan. "Aku quality time dulu sama Mama Papa." Dia juga berusaha menarik tangannya dari genggaman pria itu. Tapi Ethan malah mengeratkan genggamannya. Kama melotot, Ethan cuma nyengir.
"Gimana kabar Mama Papa?"
"Baik. Mama titip salam buat kamu,"
Ethan tersenyum. "Nanti aku telpon Mama."
Kama memandang pria itu cukup lama. Kemudian bertanya. "Kamu kenapa ngasih tahu Papa?" Membayangkan wajah Ethan kena pukul sampai pingsan membuat hatinya nyeri. "Kamu tau sendiri, Papaku pernah ikut pelatihan jadi atlet tinju."
Ethan tertegun selama beberapa detik sebelum membalas dengan tenang. "Aku harus tetap mempertanggungjawabkan kesalahanku pada orang tua kamu."
"Tapi jadinya Papa—"
"Nggak sakit kok," Ethan menenangkan Kama dengan mengelus punggung tangannya. "Benaran nggak sakit, Kama."
Kama menggigit bibir. Dia membuang wajah ketika merasakan matanya mulai memanas.
"Kamalia," Ethan memajukan tubuhnya. Memanggil gadis itu lembut. "Papa kamu punya alasan. And I deserved that."
"Kamu sesuka itu dipukul, ya?" Kama bertanya dengan emosi. Dia tak mampu menahan air matanya yang keluar. "Kamu udah dipukul Mas Emir dua kali. Dan Papaku—papaku mukul kamu sampai pingsan. Kamu nggak sayang sama nyawa kamu ya, Mas?"
"Kamalia, I won't die. Mereka mukul aku buat kasih aku pelajaran." Ethan merangkum wajah gadis itu, mengusap pipinya yang basah. "Ssstt ... Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Air mata kamu terlalu berharga buat nangisin cowok kayak aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel My Heartbreak
Romance[Completed] Dua tahun setelah pernikahannya batal dengan Ethan, Kama mendapatkan undangan pernikahan dari Mikaela--sahabat sekaligus adik kandung Ethan--yang akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Nicholas setelah enam tahun mereka berpacaran. Kam...