SRG 07

128 16 2
                                    

Sarang sudah menyelesaikan semua agendanya hari itu dan sekarang sedang bersiap-siap untuk pergi. Hari ini adalah hari peringatan kematian bibi Saeri yang kata orang semasa hidupnya sangat dekat dengan Sarang.

Bibi Saeri meninggal setelah menjabat sebagai Presdir ECO grup selama beberapa tahun. Setelah kematiannya, posisi itu diberikan kepada ayah Sarang sebagai kakaknya. Ayah pun menerima posisi itu dengan terpaksa karena memang tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya. Padahal katanya ayah menolak menjadi Presdir karena memiliki cita-cita lain.

Apa sebaiknya aku menolak juga? Pikir Sarang ketika mendengar cerita itu dari gurunya. Tapi itu tidak mungkin. Siapa yang akan meneruskan perusahaan ayah kalau bukan dirinya? Dia bahkan tidak punya kakak dan tidak punya adik.

Mungkin akan ada jalan keluar jika aku memikirkannya sedikit lagi. Pikir Sarang akhirnya. Dia melamun dalam perjalanan menuju areal pemakaman. Lokasinya yang berada agak jauh di pinggiran kota membuatnya berfikir mengapa tidak menyimpan abu mereka saja daripada mengubur mereka. Itu akan lebih dekat.

Lalu Sarang pun sampai di makam tempat bibi dan ibunya bersemayam. Selusin pengawal berjaga di sekitar, baik menggunakan pakaian dinas maupun pakaian preman, menjaga ayahnya yang seorang pemimpin perusahaan besar. Mereka benar-benar memberi usaha lebih banyak untuk keamanannya.

"Kau sudah datang?" Kata ayah yang sepertinya sudah sejak tadi berada disana. Dua buah makam yang saling berdekatan sudah dipenuhi kelopak bunga dan juga buket bunga.

"Maaf terlambat." Kata Sarang.

Ia datang menghampiri lalu berlutut di makam bibinya.
Lalu ayah berkata lagi, "Yang ini ibu mu."

"Oh." Sarang mengangguk. "Hallo ibu." Kata Sarang terdengar canggung. Dilihatnya, ayah menahan tawa.

"Apa aku terdengar lucu?"
"Ya." Katanya menyembunyikan senyum. Tapi ayah tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang muncul begitu saja di wajahnya.

Setelah beberapa saat berlalu, angin dingin berhembus seakan tidak peduli pada orang-orang yang sedang berkabung disini.

"Sudah saatnya kita kembali." Kata ayah mengajaknya pergi. "Udara sudah semakin dingin dan matahari juga sudah mulai terbenam."

Mereka pun berjalan di jalan setapak. Beberapa pengawal masih memperhatikan keadaan sekitar ketika Sarang yang kedinginan, berjalan cepat ke arah mobil. Tapi dia berhenti sebentar sebelum benar-benar masuk. Dia menunggu ayahnya yang masih menikmati pemandangan sore disana.

"Apa ayah naik mobilnya sendiri?" Tanya Sarang. "Apa aku harus masuk mobil ayah?"

"Anda naik mobil Anda sendiri, Nona." Paman yang menjawab, "Itu prosedur keamanan." Tambahnya.

"Hah.. sudah seperti keluarga royal sungguhan saja." Gumam Sarang.
Dia pun masuk ke dalam mobil dan segera meninggalkan areal pemakaman.

"Kita akan makan malam di lounge hotel ECO grup." Kata paman di tengah perjalanan. "Apa ada menu khusus yang anda inginkan, nona?"

"Ya? Tidak ada." Jawab Sarang. Dia hanya memperhatikan jalanan yang mulai gelap perlahan-lahan.

Mobil berhenti di pintu depan sebuah gedung yang Sarang yakin, tempat hotel ECO grup berada. Dia tidak begitu paham soal interior. Tapi dia bisa mengenali gaya ukiran klasik disini.

"Gedung ini sepertinya dibuat dengan detail yang tidak perlu." Gerutu Sarang melihat ukiran dan ornamen di pilar-pilar besar yang menurutnya menyulitkan perjalanan daripada membuatnya terlihat bagus. Tapi mengingat tinggi gedung yang mencapai 50 lantai, tidak buruk juga punya pilar yang besar.

Sarang menunggu ayahnya turun dari mobil sebelum melangkah masuk gedung. Semua staf yang sedang tidak bertugas di area itu, segera berbaris di depan pintu dan menyambut mereka.

Happy Ending Buat Bias KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang