41 : The Warmest Hug

1.1K 139 15
                                    






Keadaan Waru kian hari kian membaik. Semalam dokter Kuntjoro telah memperbolehkan Waru melepas masker oksigen yang tentu sangat tidak nyaman ketika di pakai. Namun tetap saja ia masih dibatasi dalam melakukan pergerakan, karna luka jahitan bekas operasinya masih belum sepenuhnya pulih.

Pagi ini, ada Jian yang menemani sang kakak sembari mengajaknya berbincang kecil. Waru tak bisa banyak menanggapi karna tangan kirinya masih tak bisa ia gerakkan sama sekali, dan bicaranya juga masih terdengar lemah dan parau. Meskipun begitu, ia tetap mendengarkan ocehan Jian dengan tersenyum.

Jian bercerita banyak tentang hari-hari dimana ia bersekolah dan bertemu banyak teman baru disana. Waru mengucap syukur karna akhirnya sang adik bisa mencicipi dunia SMA dengan bertemu banyak orang-orang baru di sekitarnya.

Nadi terlihat masuk ke dalam ruang rawat Waru dengan membawa dua kantung plastik berisi sarapan dan air untuknya dan Jian.

"Jian, ayo sarapan dulu. Ini abang beliin bubur langganan abang"

Jian menatap Waru lalu mencium pipi sang kakak sekilas sebelum beranjak pergi menghampiri Nadi yang tengah membuka plastik dan menyiapkan bubur Jian. Yang di cium justru terkekeh gemas lalu terdiam ketika menyaksikan pemandangan yang menyejukkan hatinya.

Nadi terlihat begitu lembut menyikapi Jian, dan Waru senang akan hal itu.

Tak lama, Nadi menghampiri Waru dengan membawa bubur miliknya.

"Sarapan bareng, ya? Sambil kak Abi suapin"

Waru menurut saja dan terus memperhatikan Nadi yang meraih sarapan yang telah disiapkan oleh rumah sakit untuknya. Setelah itu Nadi menekan tombol di samping kasur brankar Waru agar posisi sang gadis dapat menjadi lebih nyaman ketika makan.

"Punggungnya masih sakit?"

Waru mengangguk dengan bibir mengerucut, lantas setelahnya ia langsung dibuat terkejut ketika Nadi tanpa aba-aba mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirnya.

"Nanti habis makan minum obat pereda nyeri, biar nyaman kalau tidur"

Si gadis mangut-mangut salah tingkah dan tak berani menatap Nadi karna masih tak menyangka bahwa ia akan mendapat ciuman di bibir.

"Hei, kenapa? Kok pipinya merah gitu?" Tanya Nadi pura-pura bodoh sembari membelai pipi yang masih terdapat sisa lebam kebiruan disana.

"Kak Abi... sudah suka sama Waru, ya?" Tanyanya malu-malu sehingga membuat sang pemuda terkekeh gemas.

"Bukan suka lagi, malah sudah cinta"

Waru mengerjapkan matanya berulang kali.

Apa? Cinta?

Nadi mengulum senyum kala menyaksikan ekspresi kebingungan gadis favoritnya itu. Ia pun mulai menyuapkan sesendok bubur ke mulut Waru dengan jantung yang sejak tadi berdebar kencang.

Siapa sangka bahwa Nadi baru saja menyatakan perasaannya tanpa ragu pada gadis dengan jiwa berusia 10 tahun dan jantungnya berhasil dibuat berdetak tak karuan?

Bahkan, jika ditanya alasan mengapa Nadi bisa mencintai Waru, yang bukan lain adalah sosok yang awalnya menjadi pemicu kesedihan mendalam hadir dalam hidupnya,

Nadi akan menjawab tidak tahu.

Tak ada alasan mengapa ia bisa mencintai gadis itu begitu dalam. Memberi semua afeksi dan kepedulian yang terlampau tulus. Dan, Nadi tak tahu mengapa ia bak tergelincir dan jatuh sebegitu dalamnya.

(Un)happy | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang