16
.
.
.
🎼🎼🎼Pagi ini, kegiatan Rona setelah bangun tidur terkesan membosankan. Setelah istirahat cukup dan berjalan-jalan sebentar di area rumah untuk merilekskan otot tubuhnya, Rona kini hanya duduk di taman belakang rumah dekat kolam renang. Masih dengan piyama tidur miliknya, Rona belum membersihkan dirinya.
Di tanganya ada satu buah buku novel dan juga secangkir susu hangat. Niatnya sih ingin bersantai sambil membaca buku. Cuaca juga sangat mendukung, tidak terlalu panas dan sedikit berangin. Namun, teriakan Zira yang heboh, dari arah dapur menuju tempat duduknya, membuat Rona mau tidak mau menyimpan sejenak buku yang sedang dia baca.
"Rona, sumpah ya gue minta maaf banget soal kemarin gue ninggalin Lo. Niatnya juga gue pergi bentar, tapi pas balik Lo udah gak ada. Lo gak apa-apa kan Na?" Dengan wajah paniknya Nazira memandang Rona dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tubuhnya naikt turun mengecek keadaan sahabatnya yang kini memandang dia bingung.
"Gak apa-apa kok Zira santai aja. Aku juga udah biasa kayak gini."
"Tapi kan Na, gue ngerasa gak berguna banget jadi sahabat Lo." Tampaknya Nazira masih menyesal. Majahnya muram, tanganya saling meremas.
Rona menarik sudut bibirnya sedikit, lucu juga melihat Nazira merengut begitu. "Sudah ah, kamu pergi sekolah sana nanti gerbangnya dikunci," titah Rona.
"Bentar dulu, ini masih pagi, baru juga jam enam Na. Aku duduk di sini ya," ucap Nazira yang entah kapan sudah duduk manis di kursi samping Rona yang terhalang meja bulat kecil.
"Eh Btw yang nolongin Lo siapa Na?"
Usai menyeruput sedikit susu hangat miliknya, Rona meletakan kembali cangkir yang ia pegang ke atas meja. Sempat bengong sebentar mendengar pertanyaan Nazira sebelum akhirnya dia menjawab ragu.
"Itu, anak kelas sebelah." Rona menunduk, pipinya terasa menghangat.
Seperti biasa, respon yang Nazira keluarkan tak luput dari kehebohan. Sekarang juga, meskipun volume syoknya agak berkurang, Nazira menutup mulutnya yang menganga dengan bola mata melebar.
"Serius Lo Na? Si Elvis lagi? Wah itu anak perasaan ngintilin hidup Lo mulu Na!" Ungkapnya menggebu-gebu.
Rona mengangkat kedua bahunya tak acuh sembari menggigit bibir bawahnya, "gak tahu deh Zira. Udah lah kamu berangkat sana." Lagipula Nazira kok bisa langsung menebaknya dengan tepat alih-alih salah.
"Kalau salting jangan ngusir dong Na. Nanti gue bilangin sama Tante Laras, anaknya udah mulai mode bucin."
"Eh, Zira jangan gitu dong. Aku gak salting kok. Gak bakal mode bucin juga. Lagi pula…" Ucapan Rona terhenti saat tanganya tanpa sengaja mengelus tempat rambut yang seharusnya tumbuh indah.
"Aku udah gak cantik lagi," lanjut Rona.
Mendengar itu, tatapan menggoda Nazira Langsur sirna tergantikan dengan tatapan lesu dan mencoba memancarkan semangat untuk sahabatnya. Kedua tangan Nazira menyentuh pipi tirus Rona, membawa wajah Rona untuk menatap kedua matanya.
"Na, dengerin gue! Lo itu cantik. Siapa yang bilang sahabat gue gak cantik? Nanti gue pites deh palanya sekalian."
"Tapi, Zira.."
"Stttt, udah," potong Nazira cepat. "Kemana Rona yang selalu percaya dengan dirinya sendiri. Gue gak suka Lo kayak gini Na, tega banget ngomong kayak gitu." Nazira mengusap pipinya yang basah. Kata-kata yang Rona keluarkan sungguh menggores hatinya.
Rona juga merasa bersalah, tak seharusnya dia menjelekkan dirinya sendiri. Namun, tadi itu, dia tak sadar akan ucapannya.
"Jangan nangis dong Zira," pinta Rona. Mengusap punggung sahabatnya yang sesenggukan.
"Pliss jangan ngomong gitu lagi."
"Iya-iya, janji gak ngomong gitu lagi."
Nazira mengacungkan jari kelingkingnya yang disambut baik oleh Rona. Dan setelahnya, Nazira kini harus segera pergi ke sekolah.
Rona menunduk lagi, ia melihat pantulan dirinya pada meja bulat berlapis keramik. Pipi tirus, kulit pucat, mata yang menghitam di bawahnya. Sungguh mengerikan. Rona rasa dia ingin menghilangkan semua cermin sekarang.
"Sayang," panggil seseorang. Suaranya berat dan berwibawa.
Rona mendongak. "Papa?"
"Anak papa lagi ngapain melamun begitu Hem?" Aria duduk, di kursi yang tadi Nazira dudukki. Kaus putih santai dan celana selutut yang dikenakannya membuat kening Rona sedikit mengkerut.
"Kok belum siap-siap kerja Pa?" Tanyanya.
Aria mencubit gemas hidung Rona sebelum dia menjawab, "hari ini Papa libur dulu. Papa mau menghabiskan waktu sama kamu biar gak bosan di rumah," jawabnya santai.
Tak terasa, kedua bola mata Rona membesar. Apa barusan tadi? Papanya nekat libur kerja hanya untuk menemaninya?
"Pa, jangan gitu dong Pa, Papa harus kerja. Rona di sini masih ada Mama kok."
"Loh, memangnya Papa gak boleh main sama Rona gitu? Jadi Papa harus kerja aja gak boleh bareng sama Rona?" Aria membuat wajah memelas.
"Bukan gitu Pa. Maksud Rona kan-"
"Sudah, hari ini kita senang-senang aja. Gak usah pikirkan pekerjaan papa. Rona sekarang mau main apa? Catur? Ludo? Atau apa?" Bibir Aria mengembang. Rona tahu, papanya ini selalu ingin terlihat bahagia juga di dekatnya. Bahkan saat dia terbaring di rumah sakit, papa tidak pernah menunjukan raut murung di depannya.
Baiklah hari ini, akan Rona habiskan dengan bermain bersama papa dan juga mamanya.
Bang Radit? Entahlah, abangnya itu tidak terlalu bentah di dalam rumah.
Hari ini tidak akan membosankan. Ron harap tubuhnya cepat pulih walaupun tidak seratus persen, yang penting Rona bisa sekolah. Ingat, dia punya hutang.
Ucapan terima kasihnya belum diterima.
🎼🎼🎼
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Music (SELESAI)
Teen FictionNamanya Rona, namun tidak seperti namanya. Gadis itu memiliki kulit yang pucat, tubuh yang lemah dan kehilangan semangat. Dirinya ada diambang hidup dan mati, ini semua karena penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Namun, dengan satu alasan R...