15
.
.
.
🎼🎼🎼Perlahan mata Rona terbuka. Langit-langit putih serta harum segar khas kamarnya membuat dia merasa nyaman. Tubuhnya terasa remuk tak bertulang. Ditambah lagi dengan mata yang berkunang-kunang membuat Rona sekejap memejamkan matanya kembali. Butuh beberapa detik agar mata Rona bisa beradaptasi dengan cahaya lampu kamarnya.
"Sudah sadar Nak? Syukurlah." Laras membantu Rona menegakkan sedikit tubuhnya. Agar Rona bisa lebih rileks. Ekspresi khawatir dan juga lega sangat kentara di wajahnya.
"Minum," pinta Rona, kerongkongannya kering sehingga suara yang dia keluarkan begitu serak dan kesat.
Dengan cepat Laras mengambil gelas berisikan air putih di atas nakas sambil menghela napas. Laras begitu lega saat Rona membuka matanya kembali. Tadi Radit membawa Rona yang pingsan dengan keadaan mimisan, gimana Laras gak panik coba.
Tapi untung saja saat dokter pribadi Rona yang bernama Ria datang ke rumah untuk memeriksa keadaan Rona. Semuanya masih aman. Rona hanya kelelahan dan butuh waktu istirahat. Dokter Ria juga mewanti-wanti kalau Rona memang tidak boleh terlalu banyak aktivitas.
Itu juga yang membuat Laras cukup geram dengan anaknya yang nekat ikut nonton festival Eskul. Mau marah pun rasanya Laras sudah tidak sanggup.
"Satu Minggu kamu istirahat aja, gak usah sekolah. Mama udah ijin sama guru kamu tadi." Laras mengusap kepala Rona penuh kasih. Rambut palsu yang selalu anaknya kenakan itu telah terlepas menyisakan kepala Rona yang bersih dari helaiannya.
Kalau Laras bisa memilih, harusnya Laras saja yang kini diposisi anaknya. Laras tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Rona melihat keadaan tubuhnya kini.
"Jangan ngeyel," potong Laras saat melihat bibir pucat Rona yang bergerak hendak membantah ucapannya.
"Rona sehat kok Ma," balasnya sambil marik selimut hingga menutupi leher.
"Mama tahu kamu sehat Nak tapi, untuk kali ini aja Mama mohon sama kamu istirahat dulu paling tidak dua hari kalau kamu memang benar-benar mau sekolah." Laras duduk di ranjang Rona, menggenggam lengan Rona yang terbungkus selimut kemudian memijatnya perlahan. "Kata Bang Radit tadi ada yang bantu kamu saat pingsan di sekolah. Mama gak tahu lagi deh kalau gak ada yang nolong kamu saat itu gimana terus kamu telat dapat pengobatan." Tiba-tiba Laras bercerita.
Alis Rona mengernyit. "Siapa Ma?"
"Gak tahu, katanya cowok. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih," jawab Laras. Kini pijatan tangan nya berpindah ke kaki Rona.
Otak Rona masih memproses ucapan mamanya tapi dia sama sekali tidak dapat pencerahan. Ciri-ciri yang mamanya sebutkan tadi itu ciri umum. Tapi sekarang otaknya malah skak di satu orang.
"Katanya sih pake sepatu setelan band gitu, terus punya lesung pipi. Dia juga pernah ikut audisi Bang Radit dulu tapi gak keterima."
Ini sih gak salah lagi. Rona yakin yang menolongnya itu Elvis anak kelas sebelah.
"Ikut audisi bang Radit?" Tanya Rona.
"Iya, waktu itu kan band Abang kamu pernah buka audisi buat posisi gitaris, yang gitu-gitu lah Nak, Mama juga gak terlalu ngerti. Abang kamu juga lupa-lupa ingat katanya," jawab Laras. Bahunya naik turun saat berbicara.
"Nanti kalau ketemu lagi jangan lupa bilang makasih, terus kasih hadiah sebagai tanda terima kasih sudah membantu," lanjutnya.
"Iya Ma."
"Tadi Nazira ke sini. Tapi kamu masih belum sadar. Mama khawatir Nak kalau kamu begini terus, sekolahnya sudah saja yaa, istirahat lagi di ruang sakit?" Wajah Laras begitu lesu. Apalagi saat melihat Rona kini justru menentang usulannya. Anaknya ini terlalu keras kepala.
"Mama kan sudah setuju kalau Rona sekolah lagi. Sebelum keputusan ini dibuat, Rona sudah siap menerima risikonya Ma." Rona mengambil handphone nya memeriksa kolom chat yang sudah penuh dengan chat dari Zira. Dia minta maaf karena tidak ada di samping Rona.
Dari kecil Nazira memang begitu, dia ceroboh dan gampang terhasut sesuatu, maka dari itu Rona tidak boleh bergantung pada Nazira, kasihan juga sahabatnya kalau harus terus di sisinya. Rona tidak ingin untuk terjadi.
"Mama ke dapur dulu. Istirahat yang cukup, anak mama gak boleh kecapean lagi." Laras mengecup kening Rona kemudian melangkah perlahan menjauh dari kamar putrinya.
Baru saja hendak menutup mata, Handphone yang masih dalam genggaman Rona kembali bergetar. Satu pesan masuk dari WhatsApp ke nomornya.
"Sudah baikan? Tadi Lo pingsan pas acara terakhir."
Itu isi pesan dari nomor tidak dikenal. Meskipun nomor tidak dikenal sepertinya Rona tahu siapa yang memberinya pesan ini.
Elvis. Ini sudah pasti Elvis.
"Sudah. Terima kasih sudah menolong."
Rona kembali meletakkan handphonenya setelah menutupnya. Niatnya ingin merenung sejenak mengosongkan pikiran. Namun, satu pesan kembali muncul.
"Tidak menerima ucapan terima kasih lewat wa, nanti aja pas ketemuan bakal gue tagih. Selamat istirahat."
Tak terasa, dua sudut bibirnya terangkat membaca pesan itu. Apa-apaan ini? Rona buru-buru mendatarkan ekspresinya lagi.
Tidak, Rona tidak boleh kepikiran dia terus menerus. Memangnya apa yang istimewa darinya, Rona rasa dia hanya laki-laki biasa dan jauh dari kata menarik di matanya.
Tapi, laki-laki yang Rona sebut tidak menarik itu kini justru melekat dalam benak Rona sampai terbawa ke alam mimpi. Wah luar biasa. Sebegitu berpengaruhnya dia hari ini.
Rona rasa dia hari ke depan akan menjadi hari yang amat membosankan. Rona harap dia hari akan cepat berlalu.
🎼🎼🎼
Note: hai apa masih ada yang nunggu?😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Music (SELESAI)
Ficção AdolescenteNamanya Rona, namun tidak seperti namanya. Gadis itu memiliki kulit yang pucat, tubuh yang lemah dan kehilangan semangat. Dirinya ada diambang hidup dan mati, ini semua karena penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Namun, dengan satu alasan R...