21
.
.
.
🎼🎼🎼Elvis kembali dari dapur dengan satu cangkir berisikan air hangat untuk Rona. Uap halus mengepul di benta tersebut.
Semoga saja panas dari airnya terasa pas tidak terlalu panas, bukannya Elvis tidak sadar ada yang aneh dengan tubuh gadis itu. Elvis tahu Rona sedang sakit, tapi Elvis tidak tahu gadis berambut hitam legam itu sakit apa. Dan dengan bodohnya dia malah membawakan air dingin. Untung saja air dalam termos di belakang masih tersisa. Setidaknya Rona tidak akan kehausan di sini.
Namun, apa yang dia lihat sekarang. Gadis berkulit pucat dengan bibir pecah-pecah itu malah tertidur dengan posisi duduk. Napas yang tidak teratur itu membuat Elvis tidak enak melihatnya.
Pasti akan sangat sakit ketika tubuh Rona bangun nanti. Dengan segera Elvis memindahkan posisi tidur Rona agar lebih nyaman, mengangkat kedua kaki telanjang Rona ke atas sofa setelah dia membuka sepatunya.
Ternyata rok sekolah Rona begitu pendek saat digunakan untuk tidur seperti ini. Mana di sini tidak ada selimut. Tapi kalau dibiarkan begitu takut nanti Elvis yang imannya setipis tisu malah tergoda.
Elvis membuka jaketnya dan langsung menyelimuti kaki Rona kemudian mengambil bantal yang biasa dia gunakan saat menginap di sini. Hanya ini yang bisa dia lakukan. Semoga gadis ini nyaman.
Elvis duduk di sofa tunggal dekat kepala Rona, matanya jauh memandang kilasan masa lalu. Dulu Elvis sangatlah ingin dirinya bisa menjadi gitaris. Dimulai event kecil dia ikuti, dan semua hasilnya nihil, tak ada satupun kejuaraan yang dia menangkan. Itu juga yang membuatnya sering kena cemoohan teman-teman di sekolah. Sudah pemalas, hobi tidur dalam kelas, akademik juga tidak memumpuni.
Tapi untung saja, dia punya Ibu yang selalu mendukung apapun kegiatan Elvis, selama itu kegiatan yang positif. Elvis juga punya Beto dan Alfa yang selalu menggandengnya. Bahkan saat titik terpuruk Elvis yang tidak lolos audisi.
Setidaknya dengan mereka semua Elvis bisa bersikap bodo amat terhadap pandangan orang lain padanya."Gue gak berbakat Na," keluh Elvis.
Elvis tidak suka bercerita, tapi dorongan dalam tubuh dan otaknya telah mengirim sinyal. Elvis perlu mengeluarkan keluh kesahnya sekarang, meskipun pada orang yang tertidur.
"Kata orang main gitar gue itu bagus, keren. Tapi, menurut gue Na, itu sama sekali gak keren. Sebel juga pas orang-orang nanya, cita-citanya mau jadi apa? Gitaris? Ikut lomba-lomba aja kagak pernah menang gimana mau jadi gitaris. Awalnya gue gak mikirin itu, tapi Na, pas gue PD banget ikut audisi Bang Radit, tahu dia kakak Lo, dan gue gak lolos, nyesek banget dah."
Kaki Rona bergerak gelisah, dia sensitif saat tidur, dan sekarang curhatan Elvis bisa terdengar oleh Rona dengan jelas, padahal matanya masih tertutup rapat. Bukan, Rona bukan pura-pura tidur, dia tidur beneran. Tapi karena tidurnya tidak nyaman dan perasaannya sedang gelisah, lamat-lamat Rona dapat mendengar suara di sekiranya.
"Raja Musik mau buka audisi lagi, gue mau ikutan Na, Lo bantu gue ya? Bisa kan Na? Janji deh kalau gue berhasil, Lo boleh minta apapun dari gue." Suara Elvis melemah
Itu, kalimat terakhir Elvis sebelum dia ikutan terjun ke alam mimpi.
…
"Makasih sudah antar."
Di depan gerbang rumah Rona, Elvis menerima helm yang Rona serahkan.
Rumah Rona begitu luas, jauh lebih besar daripada rumah miliknya. Kelihatan sekali kalau Rona ini orang berada.
"Sama-sama, gue udah janji kan bakalan jagain Lo biar aman. Gue balik, makasih juga udah bersedia bantuin gue." Elvis kembali memakai helmnya, menutupi telinganya yang memerah sebeb Rona bergumam mengiyakan sambil melambaikan tangan. Bibir pucat yang telah di lapisi lip tint segar itu juga itu tersenyum teduh.
Motor Elvis melesat ke jalan raya. Rona menghembuskan napas lega. Kenapa jantungnya tiba-tiba begini? Rona harap cukup penyakit ini saja jangan tambah-tambah lagi. Jangan sampai jantungnya bermasalah.
"Di anterin siapa?"
Sebuah suara mengagetkan Rona. Ternyata bang Radit, topi merah kesayanganya terpasang Rapi di dia atas kepala.
"Abang baru mau jemput, udah sore, bukannya telpon Abang dulu kalau mau pergi main. Inget kamu gak sama kaya remaja lain, kalau Mama tahu bisa habis kamu Na." Bang Radit membuka pintu gerbang, menyuruh Rona masuk dan segera beristirahat.
"Iya bang, Rona tahu, tadi udah telpon kok tapi gak di angkat." Rona menunjukan riwayat panggilannya kepada Radit sambil berjalan menuju rumah.
"Iya deh, lain kali Abang gak Bakan silent hp lagi," akunya.
"Eh, bang besok ke studio?" Tanya Rona penuh semangat. Kedua tanganya memegang tali ransel.
Dahi Radit mengkerut, setahunya diknya ini sangat anti menanyakan tentang dirinya apalagi musik serta studionya.
"Tumben nanya gitu."
Rona meringis malu, "boleh Rona ikut bang? Besok sekolah kan libur, Rona bosan di rumah."
Radit menggeleng tegas, tanganya terangkat membuka pintu rumah dan membiarkan Rona masuk lebih dulu, "Gak boleh, besok waktunya istirahat."
Wajah Rona murung. Dengan cepat Rona menangkap lengan kakaknya yang masih berjalan. "Ayolah bang, sebentar aja, di sana juga gak bakal lama mau lihat band yang Abang kelola itu main musik."
Sekarang Radit yang menghembus napasnya. "Yaudah besok ikut, tapi lusa gak boleh ke luar rumah. Diam di rumah istirahat. Bentar lagi kan mau cek up. Pokonya kesehatan kamu harus membaik."
"Siap bang. Makasih Abang," ungkap Rona begitu riang, kaki rampingnya berlari menginjak anak tangga menunjukkan kamar.
Rona senang, besok dia akan melihat bagaimana situasi Raja Musik yang Elvis idam-idamkan itu.
🎼🎼🎼
Note: boleh klik votenya ya. Maklum ceritanya masih sepi jadi butuh penyemangat berupa vote dan komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Music (SELESAI)
Novela JuvenilNamanya Rona, namun tidak seperti namanya. Gadis itu memiliki kulit yang pucat, tubuh yang lemah dan kehilangan semangat. Dirinya ada diambang hidup dan mati, ini semua karena penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Namun, dengan satu alasan R...