38 - Penyakit Papa

121 12 0
                                    

Raga, Om Deni, dan Tante Ana sudah sampai di Jakarta. Mereka langsung menuju ke rumah sakit tempat papanya Raga dirawat. Dengan tergesa, Raga menghampiri teman-temannya dan juga adiknya disana.

"Papa gue gimana?" tanya Raga pada semua orang yang ada disitu. Raut wajahnya benar-benar panik. Sejak di pesawat, Raga tidak mengatakan apapun, ia hanya diam sembari dalam hatinya berharap bahwa keadaan papanya baik-baik saja.

"Kak Raga!" seru Raya saat melihat kakaknya datang. Gadis kecil itu langung menabrakkan tubuh kecilnya pada tubuh kekar kakaknya.

Raga mencium puncak kepala Raya dan mengelusnya lembut.

"Raya takut, Kak!" lirih Raya sembari terisak.

"Raya nggak boleh takut ya. Kan udah ada kakak disini." ujar Raga menenangkan.

Pelukan kakak beradik itu terlepas. "Papa nggak akan kenapa-kenapa kan, Kak? Papa nggak akan ninggalin kita kaya Mama kan?" tanya Raya.

Raga bingung harus menjawab apa atas pertanyaan adiknya itu. Lelaki itu memaksakan senyumannya untuk menghibur Raya. "Kita berdoa bareng-bareng ya, Ray. InsyaAllah papa bakal sembuh." ujarnya lagi.

"Ga, udah ditunggu di ruangan papa gue." ujar Ardan memberitahu.

Raga mengangguk, "Gue ajak Om gue sekalian ya. Dia kan adiknya papa." ujarnya.

"Iya boleh." jawab Ardan.

Ana mendekat pada Raya, "Raya disini dulu sama Tante ya, Sayang," ujarnya lembut. Kemudian ia memeluk Raya dengan sayang.

Ana dan Deni memang menyayangi kedua keponakannya seperti anak mereka sendiri. Mereka belum dikaruniai keturunan sampai saat ini. Jadi mereka sudah menganggap keponakannya seperti anak sendiri.

Raya yang dipeluk oleh Ana merasakan kehangatan yang sudah lama tak ia rasakan. Ia merasa bahwa pelukan Ana hampir sama dengan pelukan Mamanya dulu. Pelukan Ana ini sedikit mengobati rasa rindunya pada Mama dan sedikit mengurangi kekhwatiran pada kondisi Papanya.

Kemudian Raga, Ardan, dan Om Deni berjalan menuju ke ruangan papa Ardan.

Sesampainya di ruangan papa Ardan, ternyata sudah ada seorang laki-laki juga disana. Dilihat dari penampilannya sepertinya sama-sama seorang dokter. Mungkin itu temannya papa Ardan, pikir Raga.

"Silahkan duduk." ujar Dokter Rizal— papa Ardan menyambut kedatangan putranya bersama Raga dan Om nya.

"Jadi gimana keadaan kakak saya, Dokter?" Deni yang terlebih dahulu membuka percakapan.

"Mungkin Dokter Fajar yang lebih bisa menjelaskan atas kondisi Tn. Rendi. Silahkan dok," ujar Rizal mempersilahkan dokter yang bernama Fajar itu.

"Sebelumnya perkenalkan saya Dokter Fajar, Dokter Spesialias Onkologi di rumah sakit ini—"

"Tunggu. Onkologi?" tanya Ardan menyela. Sejujurnya Ardan juga bingung mengapa ada dokter lain di ruangan papanya padahal tadi papanya hanya sendiri dan berkata akan menjelaskan langsung pada keluarga Raga.

Raga menoleh pada Ardan yang seperti heran. Namun ia masih diam. Menunggu Ardan mengatakan sesuatu selanjutnya.

"Onkologi bukannya spesialis kanker? Kenapa—"

"Ardan, biarkan dokter Fajar memberikan penjelasan dulu." tegur Rizal pada putranya yang sudah bersikap tidak sopan karena menyela pembicaraan.

"Maaf Pa, Maaf Dok." ujar Ardan penuh penyesalan.

Mendengar Ardan mengatakan "spesialis kanker" jantung Raga berdetak semakin cepat. Pikiran tentang Papanya sudah kemana-mana.

"Pak Rendi menderita penyakit kanker paru-paru dan sudah stadium akhir." ujar Dokter Fajar. Kemudian ia memberikan sebuah kertas pada Raga yang berisi hasil pemeriksaan atas nama Rendi Setiawan.

ZAHRAGA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang