37 - Berita

177 12 0
                                    

Raga, Erlan, dan juga Vico telah kembali ke Malang. Perkuliahan semester 2 mulai aktif kembali. Raga mengikuti saran dari ketiga temannya kemarin. Untuk tetap fokus kuliah dan menyibukkan diri dengan kegiatan dan hobinya.

Hari-hari Raga diisi dengan latihan basket, berkumpul dengan Erlan dan Vico, mengerjakan tugas, main lagi. Begitu terus berputar setiap hari.

Bahkan cowok itu hampir setiap hari pulang pada waktu shubuh. Itu Raga lakukan hanya demi bisa melupakan Zahra. Ia tau bahwa ia pulang sebelum shubuh dan di kmar sendirian, ia akan kembali mengingat gadis itu.

"Lo serius mau kek gini terus, Ga? Gue bukannya nggak bolehin lo main terus ke apart gue tapi gue juga kasian sama Om Tante lo. Pasti dia khawatir lo jarang banget pulang. Kalo pulang pasti pas udah shubuh." ujar Erlan yang heran dengan sikap temannya itu.

Raga menghela napas, "Hanya ini yang bisa gue lakuin, Lan. Kalo di rumah, gue nggak tau harus ngapain. Kalo gue disini kan ada lo. Setidaknya gue ada temen ngobrol. Bisa ngerokok dengan bebas juga disini." ujarnya sembari kembali menghisap tembakau di tangannya.

"Porsi rokok lo makin hari makin meningkat gue lihat. Nggak sayang sama paru-paru lo?" tanya Erlan. Erlan tahu betul saat Raga masih berpacaran dengan Zahra, cowok itu jarang menyentuh rokok. Hanya ketika stress tugas kuliah saja Raga baru merokok. Itu pun hanya satu batang. Namun setelah putus dari Zahra, Raga bisa menghabiskan satu kotak rokok dalam satu hari.

Raga menoleh, "Sebenernya gue daridulu porsi rokoknya segini, Lan. Cuman sejak sama Zahra, dia selalu ngingetin gue buat ngurangin rokok. Dia bilang kalo ada apa-apa bisa cerita ke dia dan jangan dilampiasin di rokok. Tapi—" Raga menjeda ucapannya. "Dia sekarang pergi. Dia udah nggak mau denger cerita gue lagi. So, gue lampiasin lagi ke rokok ini." tambahnya.

Erlan menghampiri Raga yang duduk di dekat balkon kamarnya dan menatap lampu-lampu jalan di Kota Malang yang cukup indah di tengah malam ini. Ia menepuk pundak Raga, "Lo masih punya gue sama Vico. Lo bisa cerita ke kita kalo lo mau." ujarnya menenangkan.

Raga tersenyum, "Thanks. Gue dibolehin ke apart lo setiap hari aja udah bersyukur, Lan." ujarnya tulus.

"Santai aja. Anggap aja ini tempat lo sendiri. Jangan pernah ngerasa nggak enak sama gue, Ga."

*****

Hari demi hari berlalu, Raga mulai bisa tanpa Zahra meskipun kadang ia masih mengingat dan rindu akan perhatian gadis itu. Cukup sulit melupakan gadis itu namun akan terus Raga coba. Ini juga demi kebahagiaan Zahra kan? Ia akan ikut bahagia jika Zahra bahagia.

Terkadang cinta itu tak harus memiliki. Cukup melihatnya bahagia, maka kita akan bahagia. Itulah cinta yang sesungguhnya.

Waktu ujian tengah semester telah tiba. Raga mempersiapkan semuanya dengan matang. Akhir-akhir ini cowok itu semakin rajin belajar. Ia tak mau mengecewakan papanya yang sudah percaya sepenuhnya pada Raga.

Sekitar 10 hari ujian telah berlalu. Raga sedikit bisa bernapas lega karena ia berhasil melalui hari-hari itu dengan baik.

Saat ini ia sedang berada di warung kopi langgannanya. Tentunya bersama Erlan dan juga Vico. Raga menyeruput kopi hitam yang ia pesan. Kemudian tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Ardan tertera disana. Tanpa pikir panjang, ia langsung menggeser tombol hijau di ponselnya dan menempelkan ponsel ke telinganya.

"Hallo, Dan, kenapa?" tanya Raga menyapa.

"K—kak—" Suara gadis tengah bergetar menyapa indera pendengaran Raga. Raga tahu betul itu suara siapa. Itu suara Raya— adiknya.

"Raya? Kenapa? Kok bisa pake hp nya kak Ardan? Ada apa, Ray?" tanya Raga bertubi-tubi.

Raya terdiam di seberang sana. Sesekali Raga mendengar suara isakan disana.

ZAHRAGA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang