Bab 19

1.1K 84 16
                                    

"MADIKIPE! SIAPE YANG NARUH TUMPUKAN GALAH DI DEPAN PAGAR RUMAH KITA NIH, PIH?" Pekik Nabila, bertanya pada Paul. Ia tampak kebingungan melihat tumpukan galah berserakan di samping pagar rumahnya. Setelah satu hari di rawat, Putri sudah diizinkan untuk pulang kerumah.

"Tau, mih. Dia kagak tau ini rumah orang kaya kali, yak." Kata Paul menimpali, ia menghentikan mobil nya di depan pagar rumahnya. Lalu turun untuk membuka pintu gerbang, diikuti oleh Nabila dan Putri.

"Punya siape si, ini?" Tanya Nabila dengan raut wajah yang kesal.

"Udah, mamih buka pintu rumah dulu deh, papih mau masukin mobil." Paul pun kembali ke dalam mobil lalu memarkirkan kendaraannya di pekarangan rumah. Sementara Nabila dan Putri menuju pintu depan rumahnya.

Setelah memarkirkan mobilnya, Paul pun turun dan mulai menghampiri Putri dan Nabila yang tengah membuka pintu rumah.

BBBRRRUUKKKK!!

"BUJUBUNENG!" Nabila, Paul dan Putri terlonjak kaget, mendengar suara benda yang di lempar ke arah samping pagar rumah mereka. Ketiga nya langsung menghampiri siapa pembuat onar tersebut. Hanya ada seorang laki-laki dan perempuan yang terlihat melenggang santai lalu masuk ke dalam rumah yang berada persis di samping rumah Nabila dan Paul.

"Pih? Itu siapa, sih? Songong amat roman nya. Orang baru, ya? Kaya bukan warga kampung Senggol." Tanya Nabila pada Paul.

"Mamih? Udah belum, sih? Kepala Putri pusing." Putri menginterupsi ucapan Nabila.

"Udah yuk, mih. Biarin aja, kasian Putri kelamaan di mari. Mamih juga kan kudu bawain makanan buat Salma ama si Rony, kan?" Kata Paul.

"Iya deh, pih. Ayo sayang, kita masuk." Jawab Nabila, lalu beralih merangkul bahu Putri dengan penuh kasih sayang.

***

"AA, IH! KENAPA SIH KITA TEH HARUS BELI RUMAH BUTUT INI?" Kata seorang wanita bernama -Novia- ia baru saja keluar dari sebuah rumah yang jauh lebih besar daripada rumah Nabila, lalu meraih posisi duduk di samping suaminya -Neil- yang tengah menyesap kopi buatannya di teras depan rumah.

"Gampang atuh, Ayang. Kita kan bisa renovasi ulang. Da Ayang mah tenang aja, duit Aa kan banyak. Moal bakal abis tujuh turunan juga."

"Bener ya A', kita renovasi lagi rumahnya? Ayang kirain teh Aa mau ajak Ayang tinggal di Jakarta karena Aa udah beli rumah di komplek perumahan elit. Gak tau nya mah di perkampungan kumuh, bau, udah gitu rumah nya teh jelek. Tapi berhubung Aa mau renovasi ulang, ya udah gak apa-apa deh, Ayang ikhlas tinggal di perkampungan juga." Cibir Novia dengan sombong.

"Ayang tenang aja, ya. Nanti kita nginep di hotel dulu selama rumah ini di renovasi."

Novia berteriak kegirangan mendengar jawaban dari Neil, suaminya.

"Bunda, -Elisabeth- laper." Cicit seorang gadis kecil seumuran Putri, mengeluh lapar pada Novia dan Neil.

"Hayu, Neng. Neng mau makan apa? Pizza? Spaghetti? Atau apa? Nanti Ayah pesenin lewat onlen." Tanya Neil pada putrinya.

"Enggak mau, Ayah. Elisabeth bosen. Elisabeth mau nya makan sayur asem sama ikan asin, yah." Kata Elisabeth, yang membuat Neil dan Novia membelalakkan matanya sambil menggelengkan kepala.

"Neng, ih! Ulah kitu atuh, da itu mah makanan orang susah. Neng hoyong maem hotdog? Atau Spaghetti wae nya. Nanti Bunda bikinin buat Neng."

"Bundaa, Elisabeth gak mau. Mau nya makan sayur asem sama ikan asin." Rengek Elisabeth pada Novia.

"Neng, cantik. Ulah kitu atuh, yang di bilang Bunda teh bener. Bisi perut kamu sakit kalo makan sayur basi."

"AA! BUKAN SAYUR BASI!" Interupsi Novia.

"Da kan sayur nya asem Ayang, itu teh pasti basi. Neng juga sih, gara-gara udah keseringan bergaul ama si Imas ama si Dadang waktu di Bandung, jadi weh ikut-ikutan makan makanannya mereka." Kata Neil, Novia hanya mengangguk setuju.

"Tapi Elisabeth mau nya makan sayur asem, ayah, bunda. Gak mau yang lain. Ya udah deh, Elisabeth gak mau makan kalo gitu." Kata Elisabeth pada putusan akhirnya, lalu kembali masuk ke dalam rumah dengan kesal.

***

"Mih? Mamih udah masaknya?" Tanya Paul pada Nabila, istrinya tengah memasukan beberapa centong nasi dan juga lauk pauk ke dalam rantang susun.

"Udah, pih. Sebentar lagi." Kata Nabila.

"Nanti kita mampir beli buah-buahan buat Adul ya, mih. Barusan si Rony ngabarin. Si Adul udah sadar. Lagi mau di pindahin ke ruang rawat katanya."

"Alhamdulillah." Nabila mengucap syukur, ia merasa lega karena mendengar kabar bahwa Adul telah meraih kesadarannya.

"Papih? Mamih? Udah belum? Ayo buruan, Putri udah nggak sabar mau ketemu sama Adul." Cicit Putri, ia tetap bersemangat meskipun tubuhnya masih terasa lemas.

"Iya, sayang. Mamih udah selesai, kok. Yuk, Putri jalan duluan ke mobil ya, mamih mau ambil hape sama tas dulu." Titah Nabila yang langsung di patuhi oleh Putri.

"Pih? Jadi orang yang tadi tuh tetangga baru kita?" Tanya Nabila pada Paul.

"Iya, mih. Kata Pak Mail sih, gitu."

"Kok songong amat, pih? Malah naruh tumpukan galah di samping pagar rumah kita tanpa izin lagi." Sungut Nabila.

"Iya ya, mih. Apa orang-orang kagak ada yang ngasih tau ke mereka kalo kita ini orang terkaya se-kampung Senggol?"

"Tau, heran deh sama tetangga-tetangga sinih. Susah banget mengakui bahwa kita itu orang kaya."

"Udah mih, ntar lagi aja ngegibahnya. Putri udah nungguin di mobil."

Paul dan Nabila pun segera bergegas menuju pekarangan rumahnya, mereka telah siap menuju rumah sakit untuk menemui Salma dan Rony.
____________________

Kampung Senggol X PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang