"Mpok, Bang. Kita balik dulu, dah. Besok kita kemari lagi buat jemput si Adul." Nabila, Paul dan Putri tengah bersiap untuk kembali ke rumah.
"Kagak usah dah, Nab. Kita bertiga pulang naik angkot laki gue aja." Salma menolak secara halus keinginan Nabila.
"Iya, Nab. Lagian juga gue kan bawa angkot." Sahut Rony.
"Lo masih marah ama gue, Mpok?" Tanya Nabila dengan hati-hati.
"Yee, lo pake nanya. Gue baik kan karena ada si Adul aja. Gue tuh belum seratus persen yakin ama perubahan lo yang dadakan ini."
"Ya Allah, Mpok. Gue kudu gimana dah biar lo percaya ama gue." Bahkan ketika Nabila telah menyebut nama Tuhannya dengan suara frustasi. Memang tak bisa di pungkiri, ini adalah kesalahannya juga yang sejak dulu sudah terlalu sering berbuat jahat pada Salma dan keluarganya, sehingga mustahil Salma bisa dengan mudah memercayai perubahan nya yang sekarang.
"Udah dah, Nab, Ul. Lo balik aja dulu. Salma cuma butuh waktu, besok juga biar gue aja yang anterin Adul sama Salma pulang pake angkot." Kata Rony.
"Ya udah, dah. Pegimana baik nya aja menurut Abang." Kini giliran Paul yang angkat bicara.
"Kalo gitu kita pamit dulu ya, Bang. Mpok." Nabila mengulurkan tangannya ke arah Salma.
"Lah? Mau ngapain lagi dah? Minta ongkos? Apa pegimane?" Tanya Salma kebingungan.
"Salim, Mpok! Gue kagak mau minta ongkos, lo juga kan kere." Celetuk Nabila. "Wah, Madikipe lo ngatain gue kere!" Sungut Salma.
"Hussh! Mamih, kalo ngomong!" Sahut Paul menginterupsi ucapan Nabila, yang membuat istrinya beristighfar saat itu juga.
"Astaghfirullah, lupa gue Mpok. Lo juga sih mancing-mancing aje."
"Udah ngapa, lo kagak usah pada beranteman lagi!" Rony bersuara.
"Dia duluan, bang, ngatain kita kere." Kata Salma membela diri.
"Lah kan emang kita kere." Ucap Rony.
"Iya juga ya, bang. Kita kan emang kere." Salma hanya cengengesan lalu membenarkan ucapan suaminya.
Memang aneh Salma ini, mirip seperti Adul.
"Udah buruan, Mpok. Gue mau salim." Nabila pun meraih tangan Salma lalu mencium punggung tangan nya. Begitupun dengan Paul dan Putri. Lalu bergantian mencium punggung tangan Rony.
"Duluan ya, bang, mpok, Assalamu'alaikum." Kata Nabila, dan Paul.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Salma dan Rony.
***
Selama di perjalanan pulang, Nabila hanya terdiam sambil terus memikirkan hal apalagi yang akan ia lakukan agar membuat saudara tirinya percaya bahwa ia telah berubah.
"Mih?" Panggil Paul.
Nabila masih diam, pandangannya teralihkan ke arah luar kaca jendela mobilnya.
"Mamih?" Panggil Paul sekali lagi bersamaan tepukan tangan yang mendarat pelan di bahunya.
"Hah? Kenapa, pih?" Tanya Nabila.
"Mamih bengong?"
"Enggak. Itu mamih lagi lihatin tukang cilok. Enak kayanya." Jawab Nabila sambil menunjuk tukang cilok yang berjejer di sepanjang gapura Kampung Senggol.
"Mamih bikin cilok, dong, mih. Kaya nya cilok bikinan mamih lebih enak deh." Ucapan Putri yang tengah duduk di kursi belakang benar-benar membuat Nabila meraih kesadaran penuh.
"Putri mau mamih buat cilok, sayang?" Tanya Nabila dengan lembut.
"Mau, mamih!" Cicit Putri, gadis kecil itu begitu antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Senggol X PANAROMA
FanfictionWARNING!! KHUSUS CERITA INI, DILARANG MENG-COPAST!