Bab 9

1.2K 93 16
                                    

Malam semakin pekat, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rony telah bersiap untuk meronda bersama sarung yang dia kalungkan di lehernya. Hari ini adalah jadwal dia meronda bersama Paul dan beberapa bapak-bapak kampung Senggol yang lain. Di kantung celananya, sudah tersimpan dengan baik lotion anti nyamuk juga permen rasa kopi sebagai antisipasi takut-takut dia ngantuk di pos ronda.

Dia berjalan bersama bapak-bapak lainnya menuju pos ronda, namun, Paul belum juga menampakkan batang hidungnya.

"Tumben-tumbenan horang hayah belom nongol." Kata Rony pada Ridwan, yang juga mengemban tugas untuk mengamankan kampung Senggol dari maling a.k.a ngeronda.

"Apa bang?" Tanya Ridwan, karena mendengar ucapan Rony yang tidak jelas.

"Horang hayah." Kata Rony sekali lagi, Ridwan sampai terheran-heran melihat raut wajah Rony, dia bahkan begitu fokus mengikuti gerak bibir Rony.

"Abang lidah nya kepleset apa pegimane, bang? Horang hayah itu apa, maksudnya?"

"Orang kaya, dia kan lidah orang kere. Jadi gak bisa ngomong orang kaya." Pucuk di cinta, Paul pun tiba. Tiba-tiba menghina maksudnya.

"Bang Paul gak boleh menghina orang. Dosa." Kata Ridwan menasehati Paul dengan lembut.

"Tuh, lo denger! Makanya kalo punya kuping jangan cuma di jadiin cantelan doang." Kata Rony yang turut menyudutkan Paul.

Paul hanya memasang wajah kecut mendengar dirinya di nasehati oleh adik iparnya Bang Jafar.

Mereka semua telah berada di sebuah pos yang tidak terlalu besar. Rony duduk di sebelah kanan Ridwan, sedangkan Paul duduk di sebelah kiri Ridwan. Yang lain sibuk memainkan permainan catur.

"Pasti gara-gara anak lo, gue jadi di satronin ama si Desi." Paul memulai obrolan dengan nada sinis, tentu saja kalimat itu ia tujukan untuk Rony.

"Enak aje, lo! Terakhir kali anak gue bikin onar sebulan lalu! Waktu bini gue di oncok ama Haji Toing gara-gara mangga nya di colongin ama anak lo, ama anak gue." Balas Rony tidak mau kalah.

"Hilih, alesan aje, lo. Masa iya anak gue yang ca'em begitu jadi urakan. Kalo kagak ada yang ngajakin, kagak bakalan anak gue jadi bangor." Sungut Paul.

"Lah, persis kaya bini lo, noh! Bini lo juga sama kaya si Putri. Terakhir kali dia ngejulitin bini gue, ujung-ujungnya jadi kejengkang, kan?"

"Itu juga gara-gara bini lo yang nendang sendal butut nya ke bini gue."

"Maka nya lo, Ul. Jadi laki kudu tegas, kalo salah bilang salah, kalo bener bilang bener. Kelamaan idup di ketek bini si, lo!" Kata Rony dengan angkuh.

"Lo kira, lo kaga idup di ketek nya si Salma?"

Sedari tadi, kerjaan Ridwan hanya menengok kanan dan kiri. Melihat Rony dan Paul yang terus beradu argumen, tidak mau kalah sama sekali.

"Ketek bini gue mah wangi." Jawab Rony dengan bangga.

"Wangi pala, lo! Wangian juga ketek bini gue." Kata Paul tidak mau kalah.

"Ketek bini lo, bau, bau ayam." Rony kembali menjawab.

"Ketek bini lo juga bau, bau daon singkong." Paul melawan.

"Bang?" Ridwan mulai menginterupsi percakapan Rony dan Paul, yang membuat kedua nya menatap ke arah Ridwan.

"Hah?" Tanya Rony.

"Apaan?" Tanya Paul.

"Ketek saya lebih wangi." Ucap Ridwan yang membuat Rony dan Paul menatap datar ke arah adik iparnya Bang Jafar tersebut.

"Bang Rony, Bang Paul. Mending maen catur aja daripada bahas masalah ketek." Kata salah seorang dari bapak-bapak yang lain memecah keheningan.

"Hih, ogah. Maen catur ama kaum duafa kaya si Rony."

"Lah, gue juga ogah maen catur ama horang hayah oon kayak lo."

"Ape, lo!" Sungut Paul.

"Ape?!!" Sengit Rony.

"Bang, mending kita ngopi aje daripada abang bedua beranteman bae." Usul Ridwan pada Paul dan Rony.

"Kagak dah, ogah gue ngupi bareng ama si Paul."

"Lah, lo kira gue mau ngupi bareng ama orang kere kayak lo?!"

"BANG PAUL! BANG RONY! BISA DIEM KAGAK?!" Pekik Ridwan yang membuat Rony dan Paul membelalakan matanya. Ternyata, titisan jawara mengalir dalam diri Ridwan. Bentakannya ternyata mampu membuat Rony dan Paul kicep.

"Nah, kan kaya gini enak, kaga ada yang berisik." Ridwan pun mulai merasa tenang karena Paul dan Rony mulai hening.

Semakin larut, nyamuk-nyamuk tidak tahu diri itu mulai mencari mangsa. Rony masih terjaga, dia sibuk menepuk nyamuk di sana-sini, bahkan nyamuk-nyamuk yang hinggap di beberapa bagian tubuh bapak-bapak yang lain pun turut di jadikan tumbal oleh Rony.

Paul memang membalut tubuhnya dengan sarung, tapi sarungnya sudah tidak karuan lagi posisinya. Sehingga para nyamuk itu bisa leluasa menghisap darah orang kaya pelit tersebut.

"Naah, ada lagi nih. Pas banget di congor nya." Rony melihat seekor nyamuk tengah hinggap di bibir Paul. Dengan sangat hati-hati, Rony bersiap untuk mendaratkan tepukan berantainya di bibir Paul.

"Satuu, duaa, tii.."

Ppplllaakk!!!

"BUJU BUNENG!! CONGOR GUE!!" Paul pun bangun sebangun-bangunnya, dia meraih posisi duduk dalam keadaan linglung. Sedangkan Rony hanya cengengesan menatap wajah Paul dengan air liur yang telah mengalir hingga ke dagu nya.

"Najiss! Jigong lo, nempel!" Rony pun mengelap air liur yang menempel di tangannya menggunakan sarung Paul.

"Bego! Lo ngapain nabok bibir gueee!! Lo kagak tau gue lagi mimpi enak-enak!" Sengit Paul yang masih mengumpulkan amarahnya.

"Itu di congor lo ada nyamuk! Gue baek! Kudu nya lo bilang makasih ama gue!"

"Makasih pala, lo! Emang sialan lo ya, kaum duafa! Gue lagi tidur enak-enak malah di gaplok!"

"Gak tau makasih, lo!" Akhirnya, Rony pun meninggalkan Paul yang masih linglung sendirian, dia mengoleskan lotion anti nyamuk ke seluruh tubuh, lalu membungkus tubuhnya dengan sarung. Lalu tidur di samping Ridwan.
____________________

Kampung Senggol X PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang