"Ya Allah, jhan. Kenapa bisane biyunge ngirim nyong nang perkampungan sing ora jelas kaya kie. (Ya Allah, kenapa nyokap ngirim gue ke perkampungan yang gak jelas kayak gini)." Seorang lelaki muda dengan logat ngapak, berpakaian serba putih yang tengah membawa koper terus mengomel sambil berjalan menyusuri jalan utama menuju Kampung Senggol.
Sementara itu, diujung jalan, Neil masih sibuk menggerutu karena tidak berhasil menemukan tukang gorengan yang di pesan oleh tetangga sebelah rumahnya.
"Aduh, kumaha ai si mamang Paul teh pundung gara-gara urang teu mawa gorengan. Ah, tapi da urang teh nggeus mawa martabak. Masa saya teh masih mau di marahin juga." Setelah menimbang-nimbang, Neil pun tetap berjalan menuju pos ronda walaupun dia hanya membawa martabak dan lotion anti nyamuk pesanan Rony.
Bbrruukk!
"Astaghfirullah, ya allah gustiii, lara temen awake nyong kie! (Astagfirullah, ya Allah, sakit banget badan gue)." Pekik lelaki asing yang baru saja tiba di kampung Senggol sambil mengelus-elus lututnya, lantaran kurangnya pencahayaan yang ada di depan gapura Kampung Senggol, membuat lelaki itu harus merasakan kerasnya aspal yang berada di Kampung Senggol.
"Lah, kie nangapa tali sepatune nyong bisa keiket dewek kayak kie ya? (Lah, ini kenapa tali sepatu gue bisa keiket sendiri kayak gini, ya?)." Tanya lelaki muda itu, lalu dia bersusah payah membuka ikatan tali sepatunya.
"Astagfirullah. Ai eta teh saha," Neil yang melihat tragedi jatuhnya lelaki muda itu, hendak berniat menolong, namun gagal lantaran lelaki berambut gondrong itu melihat sosok lain yang tengah berdiri di belakang lelaki muda tersebut. Bahkan, bulu kuduk nya mulai berdiri walaupun dia berada di jarak yang cukup jauh dari lelaki muda tersebut.
"Ya Allah, eta teh naon. Naha mirip poci. Eh, beneran da ini mah nggak bohong." Tubuh Neil sudah bergetar, seolah tidak mampu untuk melangkahkan kakinya.
"MAMANG!!!" Pekik Neil, membuat lelaki muda itu menoleh ke arah Neil.
Seketika, lelaki muda itu pun menoleh ke arah Neil.
"DI BELAKANG MAMANG AYA POCIII!!" Lagi-lagi Neil berteriak dengan suara yang sudah bergetar karena tidak bisa menutupi rasa takutnya.
"MAMANG? JENENGE NYONG JEROME, UDU MAMANG! (Mamang? Nama gue Jerome, bukan mamang!)." Kata lelaki muda bernama Jerome dengan tidak kalah lantang.
"MANG! ETA! AYA PP-P-POOOSSOOONG!!" Neil pun berlari tunggang langgang menuju pos ronda, tempat dimana bapak-bapak yang lainnya berkumpul.
"Lah? Nangapa mlayu? Apa nyong kaya hantu? (Lah? Kenapa lari? Apa gue kayak hantu?)."
"Iiya."
Setelah itu, terdengar suara lirih dari balik punggung Jerome. Lelaki itu pun segera menoleh ke arah belakangnya, "Nyong udu hantu, rika sing hantu. (Gue bukan hantu, lo yang hantu)." lalu berkata seolah biasa saja ketika dia menemui sosok yang sangat familiar di matanya. Jerome pun kembali membuka ikatan tali sepatu nya, tapi tunggu, sepertinya ada yang salah. Jerome pun menoleh kembali ke arah belakangnya "RIKA HANTU? (LO HANTU??)" Tanya Jerome memastikan.
"Eladhala, apa rika pikir nyong wedi karo njenengan? (Eladhala, apa lo kira gue takut sama lo?)" Sakti sekali, bukannya lari tunggang langgang seperti Neil, Jerome malah sibuk bertanya pada si Poci.
Sosok menyeramkan itu hanya diam, "sapa jenenge rika? (Siapa nama lo?)" Tanya Jerome pada sang Poci setelah dia berhasil melepaskan ikatan tali sepatunya.
"Poci." Kata sosok menyeramkan itu dengan suara dingin.
"Poci? Apa kue?"
"Pocong banci, mas." Katanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Senggol X PANAROMA
FanficWARNING!! KHUSUS CERITA INI, DILARANG MENG-COPAST!