Bab 22

1.1K 88 2
                                    

Di sebuah kamar dengan cat yang didominasi oleh warna lilac, seorang gadis kecil tengah duduk, mendekap kedua lututnya dengan tangan sambil mengerucutkan bibirnya, ia menatap ke arah jendela kamarnya.

"Elisabeth," panggil Novia, ia memasuki kamar anaknya yang tidak terkunci. Lalu berdiri di balik punggung sang anak.

Elisabeth masih tidak bersuara, dia hanya membuang nafas panjang mendapati kedatangan Novia di kamarnya.

"Elisabeth ulah pundung atuh sayang. Da yang di bilang Ayah kan bener. Elisabeth teh gak boleh buang sampah sembarangan." Kata Novia menasehati anaknya.

"Tapi kan Bunda bilang gak apa-apa kalo Elisabeth buang sampah nya di rumah butut itu." Akhirnya, Elisabeth pun bersuara, setelah tadi ia sempat mendiami Novia dan Neil di meja makan.

"He'euh oge nya. Da kan urang anu nginjinin si Elisabeth ngabuang runtah di imah butut eta." Gumam Novia dalam hati.

"Bunda izinin kamu buang sampah di situ karena Bunda juga nggak tau kalo rumah butut itu teh ada orangnya. Yang punya rumah itu teh galak, Neng. Tadi Ayah di suruh bayar gara-gara Neng buang sampah ke rumahnya mereka."

"Ya bayar atuh, bun. Bunda sama Ayah kan punya uang."

"Kalo Neng buang sampah sepuluh kali di rumah itu, yang ada teh kita jadi miskin kaya mereka, terus mereka jadi kaya seperti kita. Neng mau?"

Ucapan Novia membuat Elisabeth membalikan tubuhnya, menatap sang ibu dengan penuh tanya.

"Apa iya, bun?" Tanya Elisabeth.

"He'eh, neng. Da masa Bunda bohong." Jawab Novia apa adanya.

***

Nabila mengayunkan langkah nya perlahan, menuju sebuah kamar yang selalu ia jaga kebersihannya.
Berbuah-buah foto bersama semua kenangannya masih menggantung di badan dinding, beberapa yang lain berdiri kokoh dalam sebuah bingkai di atas nakas.

"Nyak," ucap Nabila dengan suara lirih, ketika tangannya berhasil meraih sebuah bingkai berukuran kecil di atas meja rias peninggalan ibunya.

"Maaf ye, Nabila jarang nengokin Nyak. Nyak kangen ye, ama Nabila? Besok abis dari rumahnya Midun, Nabila nengokin Nyak deh. Nabila juga kangen ame Nyak." Nabila tersenyum tipis, mendapati dirinya yang selalu merasa aneh saat sudah berbicara sendiri seperti sekarang ini. Lalu kembali meletakan bingkai foto tersebut ketempat awalnya.

Ia berjalan menuju lemari pakaian ibunya, mencari-cari sesuatu yang ia butuhkan.

Tangannya mulai menyibak lembar demi lembar pakaian peninggalan Ibunya, ia mengernyitkan dahinya. Sebuah kotak kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya berada disana.

"Apaan, nih?" Tanya Nabila dalam hati.

Perlahan, ia membuka kotak tersebut, lalu menemukan secarik kertas yang mulai menguning warnanya.

"Gue baru tau ada beginian di lemari ini. Ini apaan dah? Surat? Masa iya Nyak gue gak bilang-bilang kalo dia ninggalin surat." Gumam Nabila, meraih surat lusuh tersebut.

"Untuk anak Nyak, Nabila." Lagi-lagi Nabila menatap heran, yang ia temukan adalah surat yang ditulis langsung oleh Ibunya. Namun setelah bertahun-tahun kepergian Ipeh, baru sekarang ia menemukan kotak kecil itu.

"Nab, maafin Nyak ye, karena Nyak harus melibatkan Nabila dalam banyak kesalahan yang nggak seharusnya ada--" Nabila menarik kursi meja rias Ipeh, lalu menghempaskan bokongnya di atas kursi tersebut. Ia mulai memaknai setiap kalimat yang ditulis langsung oleh ibunya.

"Nab, setelah kepergian Babeh Sabeni, Nyak tuh selalu di datengin ama seorang perempuan yang mirip ama Emaknye Salma. Nyak nulis ini dengan kesadaran penuh, bukan lagi halusinasi. Nab, Nyak salah karena udah bikin hidupnye si Salma menderita karena kehadiran kite. Gak seharusnye Nyak gelap mata cuma karena harta, gak seharusnye Nyak nyingkirin Sabeni dengan cara naruh racun dimakanan die. Nyak nyesel, Nab. Tapi penyesalan Nyak udah gak berguna lagi. Saban ari Nyak selalu di hantui rasa bersalah. Nyak berharap, seteleh Nabila nemuin surat ini, Nabila mau ye minta maaf ama si Salma. Nyak gak pengen Nabila beranteman lagi ama die. Cukup dulu Nyak ngelibatin Nabila buat bikin Salma sengsara."

Nabila mulai merasakan panas pada kedua matanya, kumpulan air seakan menggantung di kelopak matanya, yang hanya dengan satu sentuhan mampu menjejakan tetesan air mata itu di pipi Nabila. Rasa bersalah nya semakin menjadi-jadi setelah membaca surat peninggalan Ipeh.

Tanpa kata, tanpa suara, Nabila kembali berjalan ke arah lemari pakaian orangtuanya. Memastikan benda itu tetap aman hingga jatuh kepada orang yang tepat.

Nabila mulai menyibak satu persatu baju peninggalan Ipeh, benda yang ia cari berada di tumpukan baju paling bawah. Ia temukan, beruntung, benda itu masih aman. Nabila menghembuskan nafas lega.

"Mudah-mudahan dengan cara ini lo bisa percaya lagi ama gue, Sal." Kata Nabila, ia kembali menaruh kotak kecil itu dan memastikan benda itu aman dari jangkauan siapapun, terutama Salma dan keluarganya. Jika saja Salma tau bahwa Ipeh adalah dalang dari kematian Sabeni, bisa jadi Nabila tidak akan pernah mendapatkan maaf dari Salma. 
____________________

Kira-kira, apa yang bakalan Nabila kasih ke Salma? Ada yang bisa nebak?

Kampung Senggol X PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang