Bab 20

1.2K 93 2
                                    

"Assalamu'alaikum." Nabila mengetuk pintu sebuah kamar di rumah sakit Kasih Bunda, tempat dimana Adul menjalani perawatan.

"Wa'alaikumussalam." Rony menjawab salam, lalu membukakan pintu untuk Paul, Nabila dan Putri.

"Putri-" Cicit Adul dengan lirih, penyangga leher masih terpasang, yang membuat anak bertubuh tambun itu hanya bisa menggerakan mata serta anggota tubuhnya.

Salma masih saja bersikap dingin terhadap Nabila dan keluarganya.

"Aduul, Putri kangen." Kata Putri seraya berjalan menghampiri Adul.

"Mpok, ini gue bawain lo makanan ama buah-buahan buat si Adul." Nabila meletakan barang bawaannya di atas nakas samping ranjang rumah sakit tempat Adul merebahkan diri.

"Sal, Nabila udah capek-capek masak buat lo, udah repot-repot bawain buah-buahan buat si Adul. Masa lo masih cuek aja si." Salma bahkan tidak menjawab nasihat yang di berikan oleh Rony.

"Mak," interupsi Adul, anak itu berusaha meraih tangan Salma.

"Eh, jangan banyak gerak dulu, tong. Lo masih sakit." Kata Salma khawatir.

"Mak, Emak jangan marah lagi ya ama Tante Nabila. Adul pengen banget Emak ama Tante Nabila baikan. Nggak beranteman lagi." Nabila, Paul dan Rony hanya mengangguk mendengar ucapan Adul pada Salma.

"Ya ilah, Dul. Lo masih kagak ngerti aja." Salma masih berusaha menolak keinginan anaknya.

"Demi Adul, mak."

Salma hanya berdecak sebal mendapati anak satu-satunya begitu berusaha untuk membuatnya berbaikan dengan mantan saudara tirinya itu.

"Ck, ya udah dah. Ntar Emak maafin, tapi entar, Emak pikir-pikir dulu, ya. Yang penting sekarang lo sembuh dulu, terus balik ke rumah."

Salma hanya tersenyum menatap anaknya.

***

"Bang, lo tau kagak. Kalo di kampung Senggol ada warga baru?" Cerita Paul pada Rony.

"Siape?" Tanya Rony seteleh ia meneguk air mineral.

"Yang pasti sih, mereka bukan warga kampung Senggol. Dia tinggal di bekas rumah nya Kong Sueb. Samping rumah gue." Kata Paul menjelaskan.

"Ya bagus dong, itu rumah kan udah mau enam bulan kosong. Jadi lo kagak iseng lagi."

"Bagus apaan, bang. Lo kagak tau aja, pas kita pulang dari rumah sakit, tu laki-bini lagi ngelemparin galah panjang ke samping pagar rumah gue. Ye, pih?" Sahut Nabila di sela-sela menyuapi Putri makan, Paul hanya mengangguk membenarkan ucapan Nabila.

"Itu adzab, Nab! Lo kagak inget terakhir kali lo dzolim ama gue, lo nyolong cabe ama daon singkong gue." Kini giliran Salma yang menyahut sembari menyuapi Adul makan.

"Ya ilah, Mpok. Lo juga kan ngerubuhin jemuran baju gue." Kata Nabila membela diri.

"Udah-udah kagak usah pada ribut." Interupsi Rony.

"Iya nih, Mpok. Kita berdua kan udah berubah." Sahut Paul.

"Emak jangan galak-galak dong ama Tante Nabila, ama Om Paul juga." Kini giliran Adul yang menyudutkan Salma.

"Emak tadi lagi ekting, Dul. Emak cuma bercanda doang." Jawab Salma dengan alibinya.

***

Sementara itu, seorang gadis kecil nan cantik tengah nangkring di pembatas dinding antara rumahnya dengan rumah Nabila, ia tengah asyik menikmati rambutan yang berada dalam kantung kresek yang di bawanya.

"ELISABETH! YA AMPUN ANAK BUNDAAA, KAMU NGAPAIN DI SITU?! TURUN, NAK! TURUN, SAYANG! NANTI KALAU KAMU JATUH BUNDA BISA NANGIS TUJUH HARI TUJUH MALAM!" Pekik Novia, melihat Elisabeth tengah duduk santai di pembatas rumahnya dengan rumah Nabila, sebuah tangga yang tersandar di badan dinding adalah penyebab utama yang memudahkan anak kecil itu bisa dengan mudah duduk di atasnya.

"Disini enak, Bun." Jawab Elisabeth apa adanya.

"ELISABETH! AI KAMU TEH BUANG KULIT RAMBUTAN NYA KAMANA?" Tanya Novia sekali lagi.

"Kesitu, Bun." Jawab Elisabeth, sembari menunjuk ke arah halaman depan rumah Nabila dan Paul.

"Ooh," Novia melihat bagian atap rumah Nabila, "DA IMAH NA GE GORENG. SOK LAH, GAK APA-APA KAMU BUANG KESITU JUGA." Kata Novia, membiarkan anaknya membuang kulit rambutan ke pekarangan rumah Nabila.

"Udah atuh, Neng. Turun. Mamih udah bikinin sayur basi sama ikan asin buat kamu." Novia kembali meminta Elisabeth untuk turun.

"Beneran, Bun? Gitu atuh, Bun. Kalo kayak gini Elisabeth mau turun." Dengan hati-hati, Elisabeth pun menuruni satu persatu anak tangga yang tersandar di badan dinding.

"Hati-hati sayang, bisi jatuh." Novia dengan sigap memegangi tangga tersebut.

Setelah berhasil menjangkau lantai, Elisabeth dan Novia pun kembali masuk ke dalam rumah besar tersebut.
____________________

Kampung Senggol X PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang