"Sukirman?"
Semua seakan tak percaya atas apa yang mereka lihat saat ini.
"Bang?" Begitupun Rony, ia langsung menarik tangannya dari Sukirman.
"Iya, gue."
"Ngapain lo jadi maling, Bang? Seenggak nya kalo lo kere jangan nyusahin orang lain lah! Jangan nyusahin keluarga lo." Ucap seorang bapak-bapak di belakang sana.
"Ngomong apa lo barusan?" Lelaki bernama sukirman itu berusaha mengais sisa-sisa keberanian nya. Ia tentu memiliki alasan mengapa ia melakukan hal tersebut.
"Lo kere, bang! Jangan nyusahin warga kampung yang lain lah!"
"Bang, udah bang." Ucap Ridwan berusaha menenangkan warga lain yang sepertinya sudah tersulut emosi dengan Sukirman.
"Kenapa emang kalo gue kere? Gue tau, gue cuma orang biasa! Gak kayak lo lo pada yang punya banyak harta. Gue cuma warga biasa yang di paksa hidup susah. Sementara lo semua bisa dengan gampang bersenang-senang! Ngabisin duit tanpa mikir besok makan apa," lantas lelaki bernama Sukirman itu berdiri dari duduknya dengan keringat yang telah mengucur, menembus kaus berwarna hitam yang telah pudar warna nya. Sementara yang lain hanya terdiam di tempatnya.
"Semua banda yang lo punya, lo pamerin! Tapi lo semua gak pernah mikirin orang yang nasib nya jauh lebih susah di bawah lo."
"Dimana hati nurani lo semua?" Tanya Sukirman lagi, menatap berpasang-pasang mata yang kini hanya bisa diam tanpa berani menyangkal ucapannya.
"Hati nurani lo semua ada di balik kekayaan yang nggak terbagi! Sementara gue cuma bisa ngelihat dari kejauhan. Bangga ngelihat tetangga gue sendiri pamer harta."
"Tapi, apa itu cukup? Apa pamer aja cukup sementara lo ngelihat tetangga lo yang lain kesusahan?"
Tidak ada yang berani menjawab ucapan Sukirman kali ini. Ia begitu lantang menyuarakan isi hati nya.
"Sabar bang, apa yang abang bilang benar. Tapi abang juga salah karena udah ngambil hak orang lain." Ucap Ridwan, perkataan Sukirman memang tidak sepenuhnya salah. Meskipun perbuatan nya kali ini tidak di benarkan sama sekali.
"Gue gak ada niat maling, Wan." Lantas suaranya kembali melemah.
"Iya, bang. Saya percaya."
Menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi istri dan kelima anaknya di usia yang tak lagi muda bukanlah hal yang mudah. Apalagi zaman seolah memaksa pendidikan berada pada syarat utama masuknya ke sebuah lembaga perusahaan. Sementara Sukirman, lelaki berusia hampir empat puluh tahun itu hanya orang biasa. Lahir dari keluarga tak berada, bahkan tidak sempat menamatkan sekolahnya pada jenjang pertama.
Hidup di lingkungan kampung yang begitu cepat mengikuti perubahan zaman menempatkan Sukirman berada jauh di belakang perihal harta jika di bandingkan dengan tetangga nya yang lain. Bahkan menjadi kuli angkut di pasar induk tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan isteri dan kelima orang anaknya.
Ya, kata cukup memang hanya untuk orang-orang terpilih.
Kata cukup hanya bisa di rasakan pada mereka yang senantiasa bersyukur.
"Gue perlu biaya buat berobat si Saprol, anak gue sakit. Udah dari kemarin juga bini gue gak bisa masak gara-gara dandang nya bolong. Bini gue cuma punya dandang dua. Dua-dua nya bolong."
"Kasian amat lo, bang." Paul sudah menunjukan wajah sedih nya.
Sukirman masih berada di rumah RT Ucan setelah ia mengembalikan dandang milik si korban.
Bersama warga yang lain, Sukirman menceritakan alasannya mengambil barang milik tetangga nya itu.
"Jadi, kemarin mejikom saya, abang juga yang ambil?" Tanya Rony yang tengah berdiri di samping Paul.
Waduh!
"Bukan, bukan gue. Gue gak pernah ngambil mejikom." Sukirman segera menyangkal dugaan Rony padanya.
"Kalo semur daging?" Kini giliran Paul yang bertanya.
Sukirman semakin di buat bingung dengan pertanyaan kedua tetangganya tersebut.
"Kagak."
"Lo berdua dari tadi ngebahas masalah mejikom sama semur daging mulu. Emang kapan ilang nya?" Aki Ucan yang mulai nampak gusar memberanikan diri untuk bertanya.
"Pas sahur kemarin, Te." Jawab Paul dan Rony kompak.
Aki-aki berambut putih itu mengernyitkan dahinya. Ia mencoba berpikir keras.
"Permisi bapak-bapak, Ki, nyong arep pamit disit kiyeh. Arep tuku panganan nggo sahur." (Permisi, bapak-bapak, Ki, gue mau pamit dulu nih, mau beli makanan buat sahur)
Melihat bencana di depan mata, Jerome yang baru saja keluar dari kamarnya memilih untuk berpamitan keluar rumah.
"Woy, Jer. Mau kemana lo? Ini baru jam 1! Jerome!" Omel Aki Ucan. Namun cucu nya lebih memilih untuk tetap melanjutkan langkah keluar dari rumah nya.
"Perasaan, tiap kali mantu nya si Sabeni bahas masalah mejikom sama semur daging, cucu lo pergi mulu, bestie." Haji Toing turut bersuara.
"Gua rasa mah gue tau siapa yang nyolong mejikom sama semur daging lo berdua."
"Hah? Yang bener, Te?" Tanya Rony. Kini, seluruh pasang mata tertuju pada Aki Ucan.
"Iya. Tapi maap-maap aja ini mah ya."
"Emang siapa yang maling?" Kini giliran Paul yang bertanya.
"Cucu gue."
"HAH!!"
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Senggol X PANAROMA
FanfictionWARNING!! KHUSUS CERITA INI, DILARANG MENG-COPAST!