Bab 42

827 59 2
                                    

Tepat pukul lima pagi ketiga pasangan suami istri itu keluar dari musholla Kampung Senggol. Tidak biasa nya Neil dan Novia ikut sholat berjamaah di musholla. Walaupun Nabila masih enggan bertegur sapa dengan Novia, namun Salma sudah bisa berbincang hangat dengan istri dari Neil tersebut, tentu mudah bagi Salma memaklumi segala sifat buruk tetangga nya pada saat awal kepindahan keluarga Neil ke Kampung Senggol, terlebih ketika Salma tau bahwa Novia tidak semenyebalkan yang dia kira.

"..di rumah lo aman-aman aja, Neng?" Tanya Salma pada Novia di sela-sela obrolannya, sementara Nabila hanya memutar bola matanya, berusaha bersikap seolah-olah tak peduli pada saudara tiri nya serta Novia yang menerutnya menyebalkan itu.

"Aman teh, kenapa gitu?" Tanya Novia dengan logat sunda nya yang khas.

"Semalem mejikom gue ilang."

"Hilih, semur gue juga ilang, tapi gue gak lebay kayak lo, mpok." Sahut Nabila, menyela ucapan saudara tirinya.

"Hilang? Di maling orang?"

"Ya masa di maling setan." Sahut Nabila lagi, menjawab pertanyaan yang tidak di ajukan untuknya.

"Udah lapor pak rt belum, teh?"

"Nah, betul juga tuh mpok, kenapa kita gak lapor RT Ucan aja ya?"

"Nyaut mulu lo, Nab."

"Eeh, mpok, kali ini apa yang di omongin sama bini nya si gondes nih ada benernya juga, lho."

"Gondes teh naon, teh?" Sekarang giliran Novia yang bertanya pada Nabila.

"Gondes itu gon--"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Salma buru-buru membekap mulut Nabila.

"Hmmpt!"

"Sshuut! Puasa! Lo masih julid aja." Bisik Salma di telinga saudara tirinya.

"Lo jangan dengerin omongan nya si Nabila, dia emang kalo ngomong suka kagak ada saringannya." Kini giliran Salma yang berganti bicara pada Novia. Wanita berdarah sunda itu hanya mengangguk patuh atas ucapan tetangga nya.

"Mpok! Lo apa-apaan, sih? Tangan lo bau banget balsem." Omel Nabila.

Salma tidak mau kalah, ia mencium telapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk membekap mulut adik tiri nya.

"Tangan gue juga bau jigong! Lo gak sikatan, ya?"

"Gue lupa, mpok. Abis sahur di rumah lo gue ketiduran bentar."

"Jorok lo."

"Bau mulut orang puasa mah wangi mpok."

"Wangi pala lo. Bau jigong gini wangi."

Sementara itu, di depan sana para suami berjalan mendahului para istri.
Ketiga nya begitu akrab seolah lupa bahwa mereka pernah membenci satu sama lain.

"Ul." Suara itu menghentikan langkah ketiga para suami. Bahkan Paul sudah gemetar mendengar suara yang sudah dua bulan terakhir ini tidak ia dengar tiba-tiba saja memanggilnya. Lelaki berperawakan sedang, berambut gondrong keriting serta berwajah sangar itu nyaris membuat seluruh warga Kampung Senggol dibuat ketakutan olehnya.

"Ul, lo di panggil tuh."

"I-i-iya b-bang." Paul menoleh, terlihatlah di sana, raut wajah sangar milik Jono tampak begitu menyeramkan di mata Paul dan Rony. Sementara Neil hanya menatap bingung ke arah Paul yang mendadak ketakutan seperti ini.

"Gue punya salon, lo mau beli kagak?" Tanya Jono dengan suara lamban nya yang khas sambil menenteng benda berukuran besar dalam karung.

"Hah? Salon?"

"Mau kagak?" Tanya nya sekali lagi.

"Ma-mau bang."

Rony menoleh ke arah Paul, "lo kagak punya salon, Ul?" Bisik Rony.

Paul menggeleng cepat, "gue takut, bang."

"Satu juta."

"Hmm, apes lo Ul." Gumam Rony.

"Duit nya di rumah, bang."

"Ambil."

Hanya dengan satu kata, Jono berhasil membuat Paul lari tunggang langgang menuju rumah nya. Ia lebih memilih uang nya hilang jutaan rupiah daripada harus berurusan dengan Bang Jono. Sementara lelaki berambut keriting itu dengan santai membututi Paul dari belakang.

"Mamang Paul teh kenapa, Mang?" Tanya  Neil setelah Paul dan Jono pergi meninggkan keduanya.

"Yang tadi itu Jono, preman. Baru dua bulan lalu dia di penjara gara-gara maling ayam."

"Ooh, pantesan weh Mamang Paul teh udah kayak orang ngelihat hantu gitu."

***

Paul sudah terengah-engah ketika berhasil mencapai pintu gerbang rumah nya. Dengan nafas yang masih memburu, ia mencari-cari benda kecil yang diselipkan dalam saku celana nya. Setelah ia temukan, lelaki bertubuh jangkung itu segera membuka gerbang dan berjalan cepat ke arah pintu depan rumah nya.

Lagi-lagi ia harus bersabar karena harus membuka kunci pintu depan rumah nya terlebih dulu. Namun mata nya memelotot ke arah bawah pintu rumah nya.

Apaan nih? Tanya Paul dalam hati sambil menenteng bungkusan plastik bening berisi semur daging buatan istri nya ke udara.

"Kurang asem tuh maling,"

"Apa yang maling?"

"ASTAGFIRULLAHAL ADZIIM." Ucap Paul setengah berteriak, ia benar-benar terkejut mendapati Bang Jono sudah berada di belakang punggung nya.

"Hah? Itu, a-anu bang. Bukan apa-apa."

"Mana duit nya?"

"Sa-saya ambil dulu bang."

"Lo tunggu ampe gue tau siapa yang nyolong semur bini gue." Gerutu Paul sembari mencari dompet di atas nakas tempat tidur nya. Setelah menemukan benda yang ia cari, Paul pun bergegas menuju pintu depan rumah nya.

"I-ini bang." Paul pun menyerahkan sepuluh lembar uang berwarna merah ke arah Bang Jono. Sementara Jono menyerahkan karung berisi salon ke arah Paul.

"Makasih."

Selanjutnya, transaksi penjualan selesai begitu saja. Jono pergi meninggalkan kediaman Paul setelah menerima uang sebesar satu juta rupiah.

"Alhamdulillah, kelar juga."

Beberapa saat setelah kepergian Bang Jono, Nabila pun muncul.

"Pih? Papih kenapa? Kok keringetan, gitu? Itu karung siapa?" Tanya Nabila bertubi-tubi ketika melihat wajah suami nya pucat tak karuan, di tambah karung besar bersandar pada dinding depan rumah nya.

"Apes, mih."

"Apes?"

"Si Jono nawarin Papih salon."

"Terus Papih mau?"

Paul mengangguk, "papih takut batang leher papih di piting kalo nolak."

Nabila hanya menatap tak percaya.

"Itu orang emang meresahkan banget, Pih. Baru dua bulan lalu dia di penjara gara-gara maling ayam, sekarang udah bikin ulah lagi aja. Coba buka deh pih, salon nya. Siapa tau yang dia jual barang rongsokan."

Paul pun dengan cepat membuka karung berisi salon milik Bang Jono.

"Wiiihh, Piiih." Mata kedua nya membelalak. Suami-istri itu nampak begitu sumringah mendapati salon yang di jual Jono ternyata bukanlah salon kaleng-kaleng. Harga nya bahkan lebih mahal daripada yang ia jual pada Paul.

"Untung kita, pih. Bawa ke dalem dah."
___________________

Kampung Senggol X PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang