Bab 52

586 60 7
                                    

Nabila mulai tertunduk lesu setelah kembalinya ketiga wanita muda itu dari aksi menegangkan sore tadi, mereka tengah berjalan beriringan menuju rumah mereka masing-masing.

"Ya ilah, Nab. Udah gak usah lo pikirin, palingan juga si Paul cuma kultum doang." Salma mencoba memberikan ketenangan pada adik tirinya itu.

"Iya teh, saya juga minta maaf. Da saya kan cuma nggak mau bohong sama suami saya." Sahut Novia dengan logat sunda nya yang khas.

Sementara wanita berhijab itu hanya menarik nafas panjang, "kalo lebih dari tujuh menit gimana mpok?" Tanya Nabila dengan mimik wajah yang sedih.

"Udah dah, lo gak usah minta maaf. Ini kan emang rencana gue." Kata Nabila lagi pada Novia.

"Eh, tapi ngomong-ngomong gue puas sih mpok, Nov, bisa ngerjain si Jawir sampe kepalanya kena tendangan sendal keramat lo. Senggaknya dia nggak akan berani nyolong di mari lagi setelah tau kekuatan warga Kampung Senggol tuh kayak gimana."

"Yah ilah, nggak ada jaminan, Nab. Mau sekuat apapun warga kita. Kalo mata hati tuh maling udah dibikin buta sama kebutuhan, dia bakal tetap jadi maling. Segede apapun resikonya."

"Leres eta mah, teh. Kahirupan zaman ayeuna teu mandang norma-norma agama deui. Asal perut anak-istri bisa keisi, asal perut sendiri bisa keisi, teu peduli halal atawa haram. Nu penting mah kenyang jeung puas. Intinya mah, nggak ada jaminan si Jawir atau siapapun bakal berhenti jadi maling kalau sudah berhubungan dengan kebutuhan."

"Udah dah, kita lanjut besok aja ngegibahnya. Gue udah sampe duluan, gih dah lo pada balik." Salma yang sudah tiba di depan pagar bilik rumahnya terpaksa harus menghentikan obrolannya dengan Nabila dan Novia. Ia berpamitan sebelum masuk kedalam rumah sederhana warisan mertuanya.

"Ya udah, kita lanjut pulang juga dah mpok."

"Muhun, teh. Abi juga mau langsung pulang."

"Ya udah, hati-hati."

Salma pun melenggang masuk kedalam rumahnya, sementara Nabila dan Novia melanjutkan langkah menuju rumahnya masing-masing.

Ibu dari anak bertubuh tambun itu bersicepat menuju kamar tidur sebelum suami dan anaknya kembali dari musholla dan meminta keterangan padanya. Ia sendiri merasa malas memberikan penjelasan pada suaminya, karena suaminya pasti tidak akan mengerti mengapa ia melakukan hal itu pada Jerome.

Salma terus berjalan perlahan menuju pembaringan nya setelah ia berhasil masuk ke dalam rumah. Rasanya lega, karena suami dan anaknya belum kembali dari musholla. Ia mempercepat langkahnya, namun suara dering ponsel keluaran lama itu menahan langkahnya.

"Tumben banget hape gue bunyi. Siapa yang telpon kira-kira." Salma bertanya-tanya sembari mencari keberadaan ponselnya.

"Astagfirullah, sampe berdebu nih hape saking kagak ada yang nelpon." Katanya lagi setelah ia menemukan ponselnya tergeletak di atas meja kecil yang berada tidak jauh dari tempat tidurnya, ia terus mengamati sebuah nomor tanpa nama yang masuk dalam deretan panggilan tak terjawab itu.

"Nomer siapa nih?" Tanya Salma lagi.

Tapi wanita itu tidak perlu repot-repot mencari tahu siapa pemilik nomer tersebut karena beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering.

"Nah, nelpon lagi."

"Halo." Sapa ibu beranak satu itu di seberang telpon.

"Mpok. Astagfirullah, dari tadi Syifa telponin gak di angkat-angkat." Omel seorang gadis muda bersuara lembut tersebut di balik ponsel.

"Ya Allah, Syif. Mpok lupa lo mau kemari. Lo udah dimana? Biar ntar mpok suruh Abang lo jemput dah."

"Udah nggak usah, mpok. Syifa hafal kok rumah mpok dimana. Syifa cuma mau kasih tau aja kalau syifa udah sampe Kampung Senggol."

Kampung Senggol X PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang