Bbbrrraak!!
"Woy, tong! Lo kenapa? Kaya abis di kejar-kejar hantu aja lo."
"Emaaak," Adul langsung memeluk Salma setelah berhasil lolos dari kandang maung tersebut, sambil menangis ketakutan, ia berujar "iya, mak! Huaa, ada itu!"
Kedatangan Putri dan Elishabet dengan nafas yang memburu turut menjadi pertanyaan bagi Salma, Nabila, Rony dan Paul.
"Mamiii, Putri takut." Kini giliran Putri yang beralih memeluk Nabila.
"Putri kenapa, sayang? Ada apa?"
"A-ada itu, di situ." Kata Putri, menunjuk ke arah pohon bambu yang berada tidak jauh dari pelataran musholla Kampung Senggol.
"Ada apa, Put? Putri tenang dulu, dah." Kata Paul, yang juga ikut menenangkan sang anak.
"Ada po-"
"Pohon?" Tanya Paul.
Putri, Adul dan Elishabet lantas menggeleng cepat.
"Bukan, pih. Po- po-"
Rony bahkan sudah menampakan ekspresi gagap melihat Putri begitu sulit menjelaskan apa yang terjadi pada mereka.
Ketiga nya lantas kembali menggeleng cepat.
"Terus apaan dong?" Tanya Salma penasaran.
"Itu po- po- pos-"
"Pos?? Pos Ronda?" Tanya Nabila.
"Bukan mih."
"Terus apaan Tong, Neng?" Rony kembali bertanya dengan raut wajah penasaran.
"Pppoossyyoongg! Aaaaa Putri takut, mih."
"Adul juga, maak." Adul pun kembali melanjutkan tangisannya.
"Elisabeth meluk saha atuh da ini mah." Gadis itu turut menangis lantaran tidak adanya Novia dan Neil di musholla Kampung Senggol.
"Kesian amat lo neng, sini gue peluk." Nabila dengan sigap memeluk anak dari musuh nya itu.
"Ini gamis gue bawah nya ngapa jadi anget gini dah?" Tanya Salma
"Yah, Sal. Anak lo Rembes bawah nya, noh." Ucap Rony dengan wajah kecut.
Sontak Salma menundukkan kepalanya begitu mengetahui informasi mengejutkan dari suaminya tersebut.
Wanita itu membuang nafas kasar, "lo sholat dewekan dah, bang. Ini mah bukan cuma kebagian najis nya doang, ampe pesing nya juga gue kebagian."
"Adul, kok kamu jorok sih?"
"Kelepasan Put. Ngucur sendiri."
Sementara lawan bicaranya yang lain hanya menggelengkan kepalanya melihat celana yang di kenakan Adul sudah basah pada bagian tengahnya.
"Eh, Mpok. Gue ikutan pulang sama lo ya. Gue sholat nya di rumah aja dah."
"Lo kan cuma berdua sama si Putri, ntar kalo ada dedemit lagi gimana?"
"Kan lo sama si Adul ikut ke rumah gue, mpok."
"Idih, ogah." Tolak Salma dengan keras.
"Gue bagi semur daging dah, mpok."
Wah lumayan nih buat sahur besok.
"Oke, dah. Ayo Dul, kita ke rumah Cing Nabila."
"Hh, giliran semur daging aja lo mau."
"Lumayan buat ntar sahur. Tapi gue masak nasi dulu dah, ya."
"Dah lo pada balik dah, gue sama si Paul sholat taraweh. Jangan lupa lo anterin anaknya si gondes."
"Iya, bang. Lo tenang aja."
Selanjutnya, dua ibu muda bersama tiga anak kecil itupun kembali ke rumah.
Selama di perjalanan menuju rumah warisan Rony, Nabila dan Salma serta ketiga anak kecil itu tidak ada yang bersuara, jalanan kampung yang tidak begitu ramai membuat perasaan takut kian menyelimuti.
"Dul, lo jalan nya yang bener dong." Padahal Salma sudah berkomat-kamit merapalkan do'a semampunya yang ia bisa, namun tetap saja perasaan takut itu tidak bisa ia tutupi dengan sempurna.
"Adul takut, mak."
"Lo juga sih, ngapain lo bertiga main ke sarang demit begitu? Kalo lo bertiga di kandutin wewe gombel, gimana?" Sama hal nya seperti Salma, mulut Nabila sudah berbusa lantaran sudah berkali-kali membaca ayat kursi.
"Wewe gombel apaan sih, mak?"
"Pake nanya lagi lo, itu setan yang demen sama bocah bangor kaya lo bertiga."
"Adul nggak bangor, mak. Tadi Putri duluan--"
"Udah, lo jangan pada main salah-salahan dah. Neng, lo masuk dah, emak sama bapak lo ada di dalem, kan?" Tanya Nabila ketika sudah sampai di depan gerbang rumah Elisabeth.
"Ada kok, tante. Makasih ya, tan. Dul, Put, Elisabeth masuk dulu ya, daah."
"Iya, El. Besok kita main lagi ya."
"Putri! Kamu teh hampir di telen idup-idup sama tuh pocong, masih aja ngajakin orang main." Omel Nabila, Putri hanya bisa tertunduk menerima semburan maut dari mami nya.
"Hmm, lo baru tau kan kalo anak lo bangor." Gumam Salma.
"Apa lo bilang, mpok? Anak gue bangor?"
"Kagak, gue pengen makan batagor, Nab. Bukan ngatain anak lo bangor. Lo budek, ya?"
"Emang iya lo ngomong begitu? Perasaan, kuping gue nangkepnya bukan begitu dah."
"Kuping mana bisa nangkep, lo kira tangan. Udah buruan dah. Gue mau masak nasi dulu, abis itu baru kita ke rumah lo."
"Ayo dah."
***
Malam kian larut, 11 rakaat di tangan Ridwan sudah seperti 23 rakaat. Padahal jam sudah menunjukan pukul sembilan lebih empat puluh malam, namun Paul dan Rony belum juga tiba di rumah Nabila.
"Gue pulang duluan ya, Nab. Udah mau jam 10, si Adul juga mata nya udah tinggal 5 watt gue rasa mah." Salma kembali melihat anak semata wayang nya yang sudah lemas menahan kantuk di sofa panjang berwana abu-abu monyet tersebut.
"Yaah, mpok. Lo tungguin sampe jam 10 dah."
"Duh ilah, penakut banget si lo."
"Gue iseng, mpok."
Tok! Tok! Tok!
Pucuk di cinta Rony dan Paul pun tiba.
"Nah, panjang umur banget tuh laki gue." Salma segera bangkit dari duduknya.
"Alhamdulillah, akhirnya pulang juga. Lama banget sih, pih."
Tanya Nabila dengan rasa lega lantaran Paul dan Rony sudah kembali ke rumah dengan selamat.
"Mamih kayak nggak tau aja kalo si Ridwan udah mimpin sholat."
"Ayo dah kita balik, kesian amat lo Tong, ngantuk ya?" Tanya Rony pada anaknya.
"Iya, ba. Baba lama amat si." Kini giliran Adul yang mengomel.
"Gue pulang duluan dah, Nab."
"Iya, mpok, eh, itu semur daging lo jangan lupa di bawa."
"Eh iya, hampir lupa gue.
_____________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampung Senggol X PANAROMA
FanfictionWARNING!! KHUSUS CERITA INI, DILARANG MENG-COPAST!