Seline membuka matanya terkejut. Napasnya memburu tak beraturan disertai degupan jantung yang bergemuruh hebat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak seolah pasokan oksigen yang ia hirup terhimpit sepenuhnya. Gadis itu bangkit dari tidurnya, menoleh ke arah nakas barangkali ada sesuatu yang bisa ia minum.
Lagi-lagi ia memimpikan hal yang serupa.
Seline lagi-lagi memimpikan kematiannya.
Sungguh itu adalah mimpi paling buruk yang pernah Seline alami, terlebih kabar buruk lainnya adalah bahwa mimpi-mimpinya kerap menjadi kenyataan.
Beberapa pekan yang lalu, Seline sempat melihat dirinya menjalani proses pemenggalan dengan alasan hukuman yang entah dikarenakan apa. Pada mimpi tadi, Seline justru melihat dirinya ditikam oleh seseorang.
Bagaimana darah merembes dari luka tusukannya, dengan darah yang termuntahkan dari mulutnya. Seline merasa mual bahkan hanya dengan mengingat mimpi itu.
Sama seperti mimpi sebelumnya, mimpi kali ini terasa sangat nyata. Seline benar-benar merasakan bagaimana kematian datang mendekat, bagaimana kesadarannya perlahan hilang disertai sakit yang sulit dijelaskan.
Gadis itu menarik napas dalam. Setelah meneguk air, Seline beranjak dan menghampiri kursi yang tak jauh dari tempat tidurnya, di mana meja pun berada di sana, menghadap langsung ke arah jendela.
Langit masih gelap gulita. Keheningan Kota Atla pada dini hari sama sekali tidak terasa menenangkan. Pikiran Seline berisik, ia memijat pelipisnya, menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.
Kematian itu terasa nyata. Mimpinya selalu menjadi nyata. Antara ia dipenggal, atau ia ditikam. Seline harus mencegah hal-hal itu terjadi—tetapi bagaimana? Ia tidak pernah berhasil menghindari mimpinya.
Dalam ributnya bising di dalam kepala, Seline akhirnya terus terjaga hingga langit berganti warna. Seline menatap pemandangan Kota Atla yang mulai terbangun dari tidurnya, netra Seline yang dirasa lelah sebab kurang tidur sayangnya tidak membuat gadis itu hendak mengistirahatkan dirinya.
Begitulah waktu terus berjalan, hingga gadis itu pun akhirnya kembali menjalani aktivitasnya. Seline sempat mencuci wajahnya sekilas, ia lalu memandang pantulan dirinya di cermin, matanya terlihat lelah, tapi semoga saja tidak ada yang menyadarinya.
Benar, Seline harap demikian.
"Rupanya kau memaksakan dirimu untuk membaca buku-buku yang kuberikan," ucap Hardin pelan, menghentikan langkahnya ketika ia menyadari netra Guardian itu tampak lelah.
Seline yang menunduk ketika Hardin berjalan melewatinya, mendongak terkejut. Ia langsung menemukan bola mata biru dengan tanpa keramahan yang tengah menatapnya. Gadis itu tersenyum tipis, tidak berkata hal lain.
Hardin terdiam sejenak, ia lalu melirik ke arah Luca—tangan kanannya—sekilas, sebelum kemudian kembali beralih pada Seline, "Kau sungguh membacanya?"
"Masih tersisa beberapa halaman, Yang Mulia."
Lelaki itu mendecak, "Lama sekali." Ia lalu kembali melangkahkan kakinya dan meninggalkan Seline.
Seline tetap terdiam di tempatnya, ia menunduk memandang bagaimana bayangan Hardin yang senantiasa mengekor di belakangnya, perlahan menjauh mengikuti si pemilik tubuh.
"Bisa-bisanya dia sadar," gumam Seline pelan, hampir menyerupai bisikan. Ia lalu menghela napas pelan, dan mulai berjalan meninggalkan koridor istana tersebut.
Berhari-hari setelahnya, Seline tidak lagi bertemu atau berpapasan dengan Hardin. Buku-buku yang Hardin berikan padanya pun sudah selesai gadis itu baca—dan sudah dikembalikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AUDUMA MASKEN : Whispers Of Heirlooms ✔
FantasyTatkala sebuah dataran menyimpan suatu hal. Laksana cermin, menyerupai mata pisau. "Dahulu kala, orang-orang dengan pakaian bersih dan bercahaya datang dari bintang memberikan hadiah pada raja kami. Auduma diberkati dengan banyaknya anugerah." ...